28 | i think i lost him

67 10 1
                                    

Walau di KTP tertera agamanya adalah katolik, kayaknya jarang bahkan hampir gak pernah Azora menginjaki katedral. Kecuali jika ada acara amal anak-anak atau acara formal lainnya yang kebetulan diselenggarakan di sana.

Speaking about the children. Azora itu pribadi yang unik. Di antara semua bisnis ilegal yang ada, dia sangat mengecualikan tentang penjualan anak di bawah umur. Masa bodoh orang mengatakan dia terlalu kuno atau apalah itu. Sebab itu sudah menjadi prinsipnya. Tidak terlalu berbeda dengan Lingga. Pria itu punya alasan mengapa dulu Azora begitu jatuh cinta dengannya.

"Ini udah yang kelima kalinya di bulan Maret. Gak sekalian aja lo buat panti asuhan atas nama lo?" Kala itu Azora pernah bertanya.

"Kenapa?" Lingga justru balik bertanya.

Cowok itu menunduk hanya untuk menatap Azora yang saat itu mengenakan pakaian ala dirinya (celana formal lengkap dengan blazer berwarna abu), namun terlihat sedikit melenceng sebab di balik blazernya, dia hanya mengenakan crop tank top hitam favoritnya tanpa bra. Beberapa pihak panti sosial dan orang-orang yang ada di dalam gereja itu menatapnya risih. Sedangkan yang ditatap hanya menampilkan ekspresi bad bitch andalannya tanpa ada rasa bersalah.

"Lo terlalu baik, anyway. Gue jadi lo mending gue pake duitnya buat party di Maldives."

Lingga menghela napas sejenak. "Well, kadang gue mikir, orang yang jahat banget pasti ada kali sedikit baiknya. Yeah ... itu pun tergantung prinsip lo, sih."

"So, itu prinsip lo? Memerankan dua sisi?"

Lingga mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Entar lo juga paham, kok."

Azora membuang tatapannya ke langit-langit gereja. Sejenak dia termenung untuk memahami pemikiran Lingga, hingga kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara tangisan anak balita yang tengah digendong oleh suster. Selama beberapa detik dia menatap anak itu dari jauh. Yang bisa dia simpulkan hanya satu. Kepolosan.

Tidak heran Azora dengan senang hati menolak keras tawaran Byun Jae Wook saat lima tahun yang lalu. Bahkan dia berani bersumpah bahwa hampir seluruh orang-orang kepercayaannya memiliki masa kecil yang suram. Entah itu dimulai dari Nala, Haje, Jaem bahkan sampai para bocah Menteng—semua punya ceritanya masing-masing, sehingga dia punya alasan untuk merawat dan mendidik mereka untuk menjadi orang. Belum lagi, beberapa anak tersebut hidupnya hancur dikarenakan oleh ulah keluarga Sawarga.

Terkadang, lo membutuhkan sedikit saja kebaikan di tengah kegiatan kotor yang lo garap. Memang terkesan sia-sia, namun wanita itu percaya, tidak ada makna yang sia-sia di hidupnya. Dilahirkan sebagai anak sulung keluarga taipan, dikelilingi oleh orang-orang serigala berbulu domba, serta harus menerima kenyataan pahit saat hubungannya dengan Lingga harus kandas di tengah jalan. Semua hal buruk itu adalah dirinya. Sedih, marah, kecewa tentu pernah dia alami. Tapi menyesal? Sepertinya tidak.

"Here."

Lamunan Azora buyar kala seseorang menyampirkan jas tuxedo hitam ke punggungnya. Menutupi area yang tidak sepatutnya terbuka di lokasi yang sedang dia pijak sekarang. Sebuah gereja terbengkalai yang sepertinya hancur akibat hangus terbakar. Hanya menyisakan setengah bangunan, terutama di bagian altar.

"Thanks." Wanita itu tersenyum singkat, sebelum akhirnya lanjut jalan menuju depan altar mengekori Lingga yang lebih dulu berjalan di depan.

Di sana, terdapat seorang pria tengah terduduk dan terikat di kursi dengan mulut yang dilakban. Kursi tersebut telah dimodifikasi sedemikian rupa, di mana terdapat mata bor tepat beberapa sentimeter di depan dadanya. Mendengar ada suara ketukan langkah kaki yang mendekat, perlahan pria itu membuka matanya. Samar-samar namun pasti, kini dia mulai menyadari kehadiran Azora dan Lingga di hadapannya.

White ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang