21 | the scent

42 9 0
                                    

Katanya, memotong rambut artinya membuang sial, menghapus duka, melupakan masa lalu, dan memulai lembaran hidup yang baru. Maka dari itu, secara impulsif, Asoka memotong rambut panjangnya menjadi sebahu. Cukup ekstrim. Sebab, sudah lama dia tidak merubah penampilannya secara permanen. Biasanya jika sedang photoshoot—kalau memang diperlukan—dia hanya akan menggunakan wig atau extension hair.

Ini pun sudah terhitung lima hari sejak kematian Tenggara. Selain memilih memotong rambutnya, Asoka memutuskan untuk menghilang dari dunia hiburan. Benar-benar mendadak dan tanpa ada alasan. Bahkan apartemennya sudah kosong, semua akun media sosialnya menghilang. Tidak ada seorang pun yang dikabarkan olehnya. Termasuk teman-temannya maupun Patricia.

Tadinya, Asoka dipaksa untuk tinggal saja bersama Nala—mengingat, hanya cowok itu yang dapat dia percaya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, kawasan apartemen Nala terlalu strategis bagi paparazzi berkeliaran. Dia belum siap untuk berkeliaran di tempat umum. Menjadi Rosalia Diana pun, juga serba salah. Sebab, para pembaca dan pihak penerbit mulai mencari-carinya karena tidak ada kabar sama sekali hampir dua minggu.

Akhirnya, cewek itu pun tinggal sementara bersama orang-orang pentolan Sawarga di markas yang mereka sebut Ducker Down. Sebuah tempat di pusat kota yang dari luar terlihat seperti kafe ala anak distro, namun di bawah bangunan itu terdapat basement beton yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal.

Bohong jika Asoka mengatakan dirinya baik-baik saja. Malamnya semakin menakutkan. Mimpi buruknya semakin bertambah. Bayang-bayang kematian keluarganya menjadi teror setiap dia mulai terlelap. Persis seperti yang terjadi sekarang. Cewek itu terbangun dengan napas sesak. Matanya langsung menangkap sosok laki-laki yang berdiri menatapnya di bawah temaram lampu tidur.

"Hey, it's me. Are you okay?"

Asoka masih kesulitan untuk bernapas. Lantas, cowok itu naik ke atas ranjang, membantunya duduk dan mengusap belakang lehernya. "Asoka?" panggilnya sekali lagi.

"Jangan ..." Cewek itu tergagap, berusaha untuk mengatakan sesuatu. "... Jangan pergi ..."

Nala terdiam. Tapi secara impulsif, cowok itu justru memeluk tubuh Asoka, mengusap punggungnya dan refleks mengecup singkat pucuk kepalanya. "Shh, tenang. Gue gak pergi."

Sesak di dadanya mulai menghilang. Cewek itu menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya yang lagi-lagi terbangun karena mimpi buruk tersebut. Sekejap, aroma musk bercampur tembakau tercium di indra penciumannya, yang sudah pasti itu aroma milik cowok tersebut.

Sejujurnya, Asoka tidak mau bertingkah menjadi cewek lemah dan gampang menangis seperti ini. Dia juga ingin kuat dan melupakan segalanya. Fokusnya sekarang adalah pulih dan menunggu kabar terbaru dari pelaku teror yang dialami olehnya dan juga almarhum kakaknya. Tapi apa boleh buat, dia tidak sekuat itu dan berakhir menangis menyedihkan seperti ini. Lagi-lagi dihadapan cowok yang baru dia kenal kurang lebih dua minggu.

Pelukan mereka belum terlepas hingga dua menit kedepan. Nala mengambil botol air mineral di meja nakas, membukanya dan memberikannya kepada Asoka.

"You don't have to be like this, Soka. They're didn't want to see it." Nala merapikan rambut cewek itu yang menghalangi wajahnya. Rambutnya basah karena keringat dingin yang mengalir deras sejak dia mendadak terbangun barusan.

Cewek itu menunduk. Memegang erat botol air yang masih dia pegang. "Saya ... takut."

Nala menghela napas kasar, mengambil alih botol air mineral dari tangan Asoka, menutupnya dan menaruhnya kembali ke meja nakas. "Listen, Soka." Cowok itu beralih memegang pundak Asoka, membuatnya mendongak dan tatapan mereka pun saling beradu. "Terserah lo mau bilang gue orang asing atau apalah. Tapi gue bisa menjaminkan satu hal ... gue gak bakal membiarkan mereka melukai lo. Gue serius soal itu."

White ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang