26 | anggita

51 8 0
                                    

Kayaknya memang benar, situasi sekarang ini sudah sekacau itu.

Hansa sempat mendengar kabar yang beredar dari orang-orang pentolan Arnawama, dan gak lama setelahnya dia langsung bertolak ke rumah sakit yang kira-kira paling dekat dari lokasi TKP kejadian kebakaran tersebut. Di keadaan seperti ini, Hansa merasa kayaknya posisi jobdesk-nya sebagai pelobi merangkap pembunuh bayaran kurang tepat buatnya. Sarka dan Yasa sudah dikirim bertugas membantu pihak Sawarga dalam kasus Nasugraha yang terang-terangan mengibarkan bendera perang. Walau di lubuk hati terdalamnya, dia masih merasa amaze kalau dua keluarga besar itu bisa kompak melawan musuh. Padahal kalau diibaratkan, Arnawama dan Sawarga itu kayak air dan minyak. Gak pernah bisa bersatu. Makanya mereka cuma bisa berdampingan buat saling menyerang satu sama lain.

Bingung? Apalagi Hansa.

Tapi di kondisi kayak begini gak ada waktu buat bingung kayak orang tolol. Makanya dia secara impulsif dateng ke rumah sakit (yang main asal tebak aja mengikuti instingnya), dan gak butuh waktu lama dia berhasil menemui Asoka yang tengah duduk di kursi lorong rumah sakit seraya memakan roti dengan tidak mood.

"Di sini lo rupanya."

Cewek itu mendongak. Tiba-tiba terkejut dan cepat-cepat memalingkan wajahnya. "Ha—Hansa?"

Hansa menghela napasnya, dan alih-alih duduk di sampingnya. "Kaget ya?" tanyanya.

Asoka langsung menggeleng. "Nggak kok. Cuma ... aneh aja liat kamu ada di sini."

"Ini rumah sakit umum. Yakali gue dilarang dateng ke sini."

"Iya, sih."

Terjadi hening sejenak. Asoka kembali sibuk mengunyah rotinya dengan tidak bersemangat, dan Hansa hanya diam mengamati pergerakan cewek yang duduk di sampingnya itu. Dilihat dari penampilannya, kayaknya malam ini—nyaris menuju pagi hari—begitu berat baginya. Kemejanya kusut, kotor dan ada bercak-bercak basah berwarna merah (seperti noda darah) habis dicuci. Wajah serta rambut bagian atasnya setengah basah, terlihat seperti sehabis cuci muka.

"Lo gak apa-apa?" tanya Hansa retoris.

"... Hm."

Terdengar sangat berbeda sekali dengan Batari Asoka maupun Rosalia Diana yang dia kenal. Lebih buruk ketimbang di saat kematian kakaknya tempo lalu. Cowok itu menghela napas panjang. "Syukur kalo lo baik-baik aja," ujarnya kemudian. Tapi beberapa detik setelahnya Hansa tiba-tiba tersadar. "Orang itu ... baik-baik aja, kan?"

Layaknya mengucapkan kalimat sakral, cewek itu tiba-tiba mematung. Pelan-pelan dia menggeleng. "... Dokter belum kasih keterangan. Aku disuruh nunggu sejak sejam yang lalu."

Oke. Sekarang Hansa paham, kenapa cewek itu bisa murung seperti ini. "He'll be alright. I bet that." Dia berinisiatif mengatakannya, walau ada rasa geli di perutnya. Siapapun tahu, Hansa dan Nala gak pernah bisa akur.

"..."

"Well ... sekedar info aja, dulu dia sering diledek 'Kurama'. Monster rubah yang ada di serial Naruto. Rubahnya punya ekor sembilan. Yang diplesetin punya nyawa sembilan. Makanya orangnya gak gampang mati."

"..."

"Well, walau gue udah gak terlalu peduli sih, sama di—"

"Dulu kamu temannya, kan?" Tiba-tiba Asoka memotong kalimatnya. Cewek itu mendongak dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kini Hansa yang terdiam. "Kamu ... kenal sama yang namanya Anggita?"

"W—What?" Hansa tergagu. Tidak pernah terbayangkan jika ada orang yang berani mengungkit atau sekedar menyebutkan nama itu kepadanya setelah sekian lama.

White ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang