01 - Rasa Penasaran

43 7 5
                                    

"Aku gak menilai suatu hal dengan asal."

♧♧♧

Cinta adalah salah satu sumber kebahagiaan setiap orang. Cinta tak selalu tentang menerima, tetapi juga memaknai dan menghargai sebuah ikatan rasa. Cinta yang paling sederhana adalah bentuk rasa cinta pada diri sendiri. Seseorang mengatakan, 'cintai dirimu sendiri, karena kau adalah pemeran utama dalam hidupmu.'

"Bodoh, apa dia tidak bisa bersikap egois sedikit saja?"

"Hei, Della! Bisakah kamu menunjukkan rasa simpatimu sedikit? Vio mendelik tajam.

"Sudahlah, toh dia itu bukan pemeran utama. Tidak penting," Della mendengus kesal. Jari-jarinya menunjuk tokoh drama yang sedang mereka saksikan di televisi.

"Yah, mau bagaimana lagi. Takdirnya menjadi pemeran second lead. Tentu saja dia tidak akan mendapat cinta sang tokoh utama. Entah mengapa, aku selalu terkena second lead syndrome." cerocos Vio. Gadis itu menatap miris ke layar kaca.

"Tetap saja, bagiku mereka tidak lebih dari sekadar pengecut yang tidak berani mengutarakan perasaannya sendiri. Pokoknya aku tim pemeran utama!" Ujar Della menyulut api emosi diantara Vio dan dirinya.

"Hei-" belum selesai Vio bicara, tiba-tiba sebuah suara menginterupsi dari arah dapur.

"Bisakah kalian berhenti beradu mulut? Kalian membuat konsentrasiku buyar." Tampak seorang gadis dengan rambut panjang menjuntai, berjalan mendekati ruang tamu sembari membawa buku bertuliskan 'Romansa di bawah Pohon Ek'.

Nara melirik sekilas buku di tangan kanannya. Sedetik kemudian meletakkannya di atas meja. Atensinya beralih menuju layar kaca yang menampilkan drama Korea favorit kedua sahabatnya. Baginya, lika-liku drama romansa kebanyakan selalu begitu saja, pada intinya dua pemeran utama akan berakhir saling mencinta, dan sang second lead yang selalu menuai simpati para penonton.

Vio melirik buku yang baru saja Nara letakkan di atas meja. "Kamu membaca buku pohon ek itu lagi?"

"Ya begitulah," Ujar Nara singkat. Gadis itu mengambil hoodie bernuansa cokelat muda kesayangannya yang tergeletak di sofa.

Della mengerutkan keningnya. "Mau kemana?"

"Biasalah, ke tempat bibi." Nara menoleh sekejap, hingga sedetik kemudian bayangannya menghilang, menandakan dia sudah pergi.

***

Hanara Olfieta, seorang mahasiswi jurusan ilmu komunikasi tingkat akhir berusia 22 tahun. Mencoba hidup mandiri dengan menyewa rumah bersama kedua sahabatnya dan bekerja sebagai pekerja paruh waktu di tempat rental buku pada akhir pekan. Selama hidupnya, dikenal sebagai kutu buku akut. Segala macam buku telah ia baca, mulai dari buku sekolah, buku cerita, komik, buku filsafat, hingga buku diari teman pun ia baca.

Disinilah ia sekarang, di depan 'Book Fairy Rental'. Tempat penyewaan buku terbesar di Kota Denpasar, tempat tinggalnya. Setiap sore di akhir pekan, Nara bekerja paruh waktu di tempat ini. Pekerjaannya tidaklah sulit, hanya mendata buku-buku yang akan dan telah disewa.

Begitu sampai di depan pintu, Nara disambut tumpukan kardus-kardus berisi buku. Di sebelahnya ada Bibi Fery - sang pemilik toko - yang sedang sibuk menghitung jumlah buku.

"Apa yang akan bibi lakukan dengan buku-buku ini?" tanya Nara menghampiri.

Bibi Fery menoleh, "Oh, Nara! Kau sudah datang?" Wajah Bibi Fery tampak sumringah. "Bibi berniat untuk membawa buku-buku ini ke tempat daur ulang."

Jika diperhatikan lagi, buku-buku itu terlihat usang dengan sampul yang robek dan beberapa halaman yang berjamur. Nara mengamati buku-buku itu satu persatu, berharap barangkali ada yang masih bisa dibaca. Tanpa disadari, netranya tertuju pada sebuah buku dengan sampul cokelat yang lusuh dan sedikit robek pada ujungnya, menambah kesan tua dan antik dalam buku itu.

"Into the Story of Eucasia," Nara membaca judul buku di tangannya. Sesekali ia membersihkan debu yang menempel pada sampul. "Bibi, bolehkah aku mengambil buku ini?"

Bibi Fery melirik sekilas, "Tentu saja. Kamu bisa membawanya. Tapi hati-hatilah, buku itu berat."

"Ah... baiklah, terima kasih." Nara berlalu meninggalkan Bibi Fery yang tengah berkutat dengan buku-buku usang itu. Batinnya merasa aneh dengan ucapan Bibi Fery.

Apakah maksudnya buku itu berat? Atau buku itu memiliki cerita yang berat? Entah apapun itu, yang jelas Nara merasa senang, setidaknya ia mendapat koleksi buku baru, gratis pula.

***

"Nara, rongsokan apalagi yang kamu bawa ini?" tanya Della yang sedang bersantai di ruang tamu sambil membawa sebungkus keripik. Matanya tak berhenti menatap buku tua yang tergeletak di atas meja.

"Jangan sentuh buku itu dengan tangan kotormu!" Pekik Nara dari arah kamar mandi. Gadis itu datang dengan rambut setengah basah dan handuk yang masih bertengger di kepalanya.

Della memutar bola matanya dengan malas. "Tanpa disentuhpun, buku itu sudah kotor."

Nara mendengus pelan. "Aku gak peduli. Aku gak menilai suatu hal dengan asal."

Dengan sigap, Nara mengambil buku itu dan membawanya ke dalam kamar. Meninggalkan Vio dan Della yang sedang asyik menyaksikan drama My Roommate is A Genderuwo.

"Dell, sepertinya bibi di tempat kerja Nara sangat baik. Setiap bulan, Nara selalu mendapat buku gratis dari sana," celetuk Vio.

"Yah, aku juga berpikir begitu," balas Della acuh.

Vio mengerutkan keningnya. "Tapi itu terkesan aneh. Memberi sekali dua kali mungkin masih wajar, tapi terus menerus seperti itu, bukankah terlihat seakan-akan ada maksud tertentu?"

"Yang diberi kan Nara, bukan kamu. Jadi biarkan saja," cerocos Della tanpa sedikitpun memalingkan wajahnya dari layar televisi.

Vio memanyunkan bibirnya. "Tapi-"

"Yaa, diamlah. Lihat itu, si genderuwo sedang berubah wujud menjadi laki-laki tampan." Della berteriak kencang sambil memukul-mukul bantal sofa.

Vio yang tadinya ingin bicara, hanya mengangguk lemas. Dalam hati ia masih merasa ada yang janggal. Diantara mereka bertiga, bisa dibilang Vio lah yang paling normal. Pertama, ada Della yang hidupnya penuh drama dan suka bicara terus terang. Sementara Nara, si kutu buku yang pintar dan cerewet, tapi sikapnya sering berubah-ubah. Terakhir, Vio si gadis normal yang berada di tengah kedua sahabat gilanya.

***

Buku itu memang terlihat tua, tapi itu tidak mengurangi ketertarikan Nara terhadap buku tersebut. Beberapa kali Nara mengalami bersin-bersin saat sedang membersihkan debu-debu kecil yang menempel pada sampul buku tua itu.

Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya saat ini Nara sudah beranjak tidur, tetapi rasa penasaran yang begitu besar terhadap buku itu, membuat Nara mengurungkan niatnya untuk tidur. Selama beberapa menit, hanya terdengar suara notifikasi ponsel dan detakan jam dinding. Nara berdiam dalam keheningan di kamarnya.

Gadis berzodiak libra ini sedang menatap buku di tangannya dengan penuh pertimbangan. Diusapnya sampul buku itu dengan penuh kehati-hatian, sebab sampul itu begitu rapuh seakan-akan bisa terlepas kapan saja.

Nara tersenyum simpul. "Into the Story of Eucasia. Terdengar menarik. Apa sebaiknya kubaca sekarang?"

Bersambung...

With love,
made_lynn

Bukan Pemeran Utama (Not a First Lead)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang