Musim Dingin

1.2K 71 0
                                    

10 Juni 2021

---//---

Penghujung Musim Dingin.

Sandekala mulai turun bersamaan dengan suhu. Awan mendung yang dari tadi bermalasan di langit mulai menjatuhkan bebannya. Ribuan tetes air menyiram tanah gersang yang porak poranda, terlihat dengan jelas terjadi peperangan di sana. Lubang bekas peluru yang meluncur dari senapan meninggalkan jejaknya di puing bangunan. Rekahan tanah yang tercipta dari hantaman bola panas terlihat sejauh mata memandang. Hampir tidak ada pohon yang berdiri, hanya ada dua-tiga batang ringkih yang menjadi saksi pertarungan brutal.

Di tengah kekacauan yang sudah menyapa kegelapan, puluhan cahaya api muncul. Berjejeran dalam diam, menunggu aba-aba untuk menyerang. Derasnya hujan tidak menyurutkan niat menghentikan rencana yang sudah ada.

Dalam keadaan tenang itu, angin tiba-tiba berhembus kencang, terlalu kuat. Bersamaaan dengan badai yang muncul, teriakan kesakitan menggema tanpa aba-aba. Tidak ada suara senapan atau meriam. Bahkan tidak berlebihan kalau disebut tanpa suara.

Kericuhan terjadi begitu laporan lima orang prajurit jatuh kesakitan memegangi perut. Dua puluh lima bersiaga menerima serangan senyap itu.

BUGH

Tiga orang jatuh berdebam, mengerang kesakitan menerima tendangan di kaki.

"Astaga! Apa itu?? Beri laporan segera!!" teriak pemimpin mereka. Salah satu pengawal berseru panik. "Tidak bisa dikonfirmasi. Kecepatannya sulit diikuti!!"

"Poises Federal???"

"Bu-bukan— Aargh!!"

"Sial," umpat pemimpin mereka meremas jari. Tangannya terangkat. "Serang dia. Jangan sampai lolos. Tangkap dengan paksa!!" titahnya emosi. Bawahannya mengangguk, maju ikut ke dalam pertarungan yang tak jelas siapa musuhnya. Satu persatu lentera mati, membawa gelap yang mencekam di bawah ribuan debit air.

"Kenapa tidak ada yang melapor?" teriaknya kalap. "Ha-hampir seluruh pasukan sudah dikalahkan," lapor salah satu bawahannya. Matannya memerah, mereka bahkan tidak tahu apa yang dihadapi dan pasukannya yang terlatih kalah kurang dari lima menit. Tangannya mengepal, marah sampai ke ubun-ubun. Tiga puluh orang termasuk dirinya dan sekarang hanya tinggal sejumlah jari tangan?

Angin kencang menerbangkan mantel mereka. Merinding kedinginan sekaligus rasa was-was yang mencekik. Tangannya mencengkeram erat pangkal pedang yang dia pegang. Dia mengayunkan pedangnya, mengeluarkan api yang meluncur ke depan. Sepanjang serangan api itu dengan mata kepala sendiri dia bisa melihat bawahannya yang bergelung kesakitan di tanah becek.

Amarahnya makin mendidih begitu melihat sesuatu berguling ke samping menghindari serangan jarak jauh tiba-tiba. Api miliknya menabrak dua pohon kering yang langsung terbakar memberikan pandangan lebih terang sesaat— karena hujan deras langsung memadamkannya. Gestur tangannya memerintahkan pasukan yang tersisa untuk maju, senapan teracung pada penyerang mereka. Bersiaga penuh.

Rintihan terdengar dari musuh yang ada di hadapan mereka, lentera di naikkan agar mereka bisa melihat secara jelas siapa yang melumpuhkan hampir seluruh pasukan. "Anak kecil??" pemimpin pasukan berseru kaget. Bagaimana bisa anak kecil mengalahkan regunya?

"Tangkap anak kecil itu," titahnya sambil mendecih ketus.

Kaki melangkah bersamaan dalam gerakan waspada. Tubuh musuh mereka memang kecil tapi fakta tentang rekan-rekan yang meringkuk kesakitan tidak bisa diabaikan. Tiga langkah dari jubah yang tercemar lumpur, mereka berhenti karena gerakan kecil. Senapan teracung kembali mengikuti gerakan musuh mereka yang mencoba duduk.

"Aw... ow... mukaku penuh lumpur sekarang. Apa telingaku baik-baik saja? Aish! Rambutku kotor!" tangan kecil itu mengusap kasar lumpur yang menempel. "Dan apa-apaan ucapanmu? Anak kecil? Kau mau cari gara-gara denganku, huh?"

Another Story [VALIANT] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang