---//---
Pagi kedua Riku di mana dia terbangun di alam bebas. Riku menyadari kalau dirinya begitu beruntung selama ini bisa tidur di dalam ruangan hangat lengkap dengan selimut. Ah, dia pernah tidur di luar juga saat bersama Touma dan teman-temannya.
Tempat yang sama.
Riku mengedarkan pandangannya, tidak ada yang berbeda dari tempat ini. Bekas pemukiman yang terbakar entah kapan. Kalau dilihat-lihat lagi memang tidak ada perubahan di sini.
Dia memang tertidur hampir satu musim, tapi bagi Riku dirinya terlelap satu malam saja jadi, ingatan tentang tempat ini masih begitu jelas.
Saat itu Riku tidak memikirkannya, tapi tempat ini seperti terbakar tidak lebih dari setahun atau dua tahun. Tanaman yang tumbuh tidak sebanyak yang seharusnya dan sekitar pemukiman masih hamparan rumput kosong tanpa semak belukar seolah belum lama ditinggal.
Bagaimana mungkin?Apa hanya perasaannya saja?
Mungkin.
Kalau saja pagi ini Tenn tidak membawakan apel-apel. Saat Riku bertanya di mana Tenn memetiknya, Tenn menunjuk pohon apel yang sama persis seperti dulu ketika Riku bersama Touma dan teman-temannya.
Sudah lewat satu musim, bukan? Apa apel berbuah di setiap musim?
Lagi pula kalau memang terbakar satu tahun atau dua tahun tidak mungkin kedua kerajaan saling menyalahkan pelaku pembakaran.
Kalau benar tidak ada perubahan berubah bisa saja tempat di mana Riku, Touma, dan teman-temannya masih terlihat bekasnya.
Riku sangat ingin memastikannya, tapi berbicara dengan Tenn lebih penting untuk saat ini. Bukan karena dia takut Tenn tiba-tiba menghilang lagi. Dia percaya pada Tenn. Hanya saja Riku khawatir kalau Tenn tidak bisa menunggunya lagi. Tenn memiliki tempat di mana seharusnya dia berada. Tidak seperti Riku. Karena itu, lebih baik dirinya tidak membuang waktu.
Tentu saja Riku tidak besar kepala kalau Tenn akan melakukan sesuai harapannya. Setidaknya Riku harap Tenn mau mendengarkan. Sedikit saja. Kalau Riku bisa menggerakkan Tenn mungkin akan ada yang berubah di masa depan.
"Kau tidak mau menghentikannya?"
"Apa?" Tenn pastinya mengerti ke mana arah pembicaraan Riku. Apa artinya Tenn mau mendengarkan?
"Perang. Kau tidak mau menghentikannya?" ulang Riku.
Tenn menatap Riku sebentar kemudian menggeleng. Padahal Riku sudah memantapkan dirinya untuk tidak berharap, tapi rasa kecewa terhadap jawaban kilat Tenn tetap muncul.
Seperti biasa Tenn yang memang sangat detail dalam memperhatikan-- atau dia yang mudah sekali dibaca-- menyadari kekecewaan Riku. "Kenapa kau sulit mengerti setelah berulang kali bertanya?"
Riku menekuk wajahnya berkata dengan nada merajuk yang dibuat-buat. "Kau marah padaku?" memang terdengar tidak tahu malu, tapi Riku hanya mencoba memperbaiki suasana yang dia rusak. Tenn tampaknya mulai tersinggung atau jenuh dengan Riku. Memikirkannya saja membuat merinding.
Tenn membuang napas berat. Riku merutuki dirinya sendiri karena Tenn jarang sekali menunjukkan sisinya yang seperti itu. Tenn pasti luar biasa kesal sekarang. "Jangan membuat wajah seperti itu. Aku tidak marah hanya saja kau terlalu keras kepala,"
"Bukannya itu sama saja? Kau kesal padaku,"
"Aku tidak akan pernah bisa marah padamu," Tenn merapikan anak rambutnya sebelum kembali menatap Riku. "Baik dulu ataupun sekarang. Apa kau tahu bagaimana bisa begitu?"
Riku menggeleng kemudian merengut. "Aku tidak ingat dan kau tidak mau memberitahuku bagaimana aku bisa tahu,"
"Tidak hanya aku. Apa kau sadar kalau kau tidak bisa membuat marah siapapun?" Tenn menggeleng dan meralat perkataannya sendiri. "Ah, bukan. Lebih tepatnya tidak akan ada yang bisa marah padamu. Bukankah itu tidak adil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Story [VALIANT] (END)
Fanfiction"Aneh bukan? Kita punya ikatan tapi aku tidak mengenalmu," "Tidak apa. Aku tahu siapa dirimu lebih dari siapa pun," Bagian Kedua dari Another Story [AFFECTION]. Perjalanan harus dilanjutkan untuk menyelesaikan apa yang dimulai. Idolish7 AU