Api Unggun

154 23 9
                                    

---//---

"Apa kau pernah mendengarnya? Mata dibalas mata. Gigi dibalas gigi. Kejahatan dibalas kematian abadi. Tidak ada dosa yang berhak diberi pengampunan,"

Sebuah pembicaraan yang berat untuk malam ini. Riku memandang lurus ke depan. Gelap. Amat gelap. Bahkan cahaya bulan terlihat samar. Sekarang api unggun tidak berisik sendiri.

Riku mengangguk. "Aku pernah mendengarnya, tapi berbeda. Milikmu kejam sekali," Tenn memiringkan kepalanya menunggu penjelasan lebih. "Mata dibalas mata. Gigi dibalas gigi. Kejahatan dibalas kejahatan. Tidak ada dosa yang berhak diberi pengampunan... ah sama-sama terdengar kejam. Aku pikir harusnya kejahatan dibalas balasan setimpal. Terdengar lebih baik,"

Tenn tertawa pendek. "Mana mungkin begitu. Hanya sang penghukum yang boleh menggunakan kalimat-kalimat itu dan penghukum tidak mengenal belas kasihan,"

"Penghukum?" ulang Riku bingung. Dia baru mendengarnya. Tenn melempar satu ranting ke atas api unggun, segera bunyi gemelutuk terdengar yang menandakan bahwa api sudah mulai melahap bahan bakarnya.

"Penghukum selalu berjumpa dengan kejahatan makanya tidak ada belas kasihan. Seperti hakim yang menghukum orang-orang berdosa. Mereka tidak pernah mengenal kebaikan selama hidup. Terus menghukum dan bertemu orang jahat,"

"Kasihan sekali," gumam Riku pelan. Tenn menoleh ke arahnya kemudian mengangguk. "Benar. Kasihan sekali,"

"Setelah mendengarnya apa kau akan berpikir kalau penghukum menyesal menjadi seorang penghukum? Kehidupan mereka hanya dipenuhi kejahatan," tanya Tenn.

Riku paham bahwa Tenn menyinggung tentang pertanyaannya siang tadi. Riku membuang napas berat kemudian menggeleng. "Aku sudah mengerti bahwa itu takdir mereka,"

"Memang begitu--"

"Tapi aku rasa mereka boleh menyesal dan merubah takdir mereka," potong Riku cepat. "Kalaupun akhirnya tidak baik setidaknya mereka sudah mencoba,"

"Orang sepertimu sudah jelas akan berkata begitu," sahut Tenn terkekeh pelan. "Aku juga penasaran bagaimana mereka merubah takdir,"

Riku mengerjap sekali, ada sesuatu yang membuatnya penasaran dan bukan dirinya kalau tidak bertanya. Riku membuka mulutnya, tapi Tenn lebih dulu menunjuk ke depan. "Lihat. Lautnya bercahaya,"

Tanpa beban Riku langsung mengikuti arah telunjuk Tenn. Wow. Riku tak pernah tahu laut bisa bercahaya. Cahaya biru terang yang mengikuti ombak di sepanjang bibir pantai tampak menakjubkan. Kalau dia tak bertemu dengan Tenn mungkinkah dia tidak akan pernah tahu dan melihat pemandangan luar biasa cantik ini?

Riku mengabaikan pertanyaan yang tadi menggantung di mulutnya. "Apa kau tahu bagaimana laut bisa bercahaya?"

Tenn mengangguk "Cahayanya yang pasti berasal dari makhluk yang sangat kecil,"

"Begitu...," Riku menganggukan kepalanya berulang kali berlagak paham. Tentu saja dirinya memang paham dengan penjelasan Tenn, meskipun sedikit sulit dibayangkan.

"Sesuatu yang bercahaya di tengah kegelapan biasanya ingin ditemukan. Seseorang pernah berkata begitu padaku," Riku mendongak. Entah kenapa tidak ada bintang di atas mereka berdua.

Mungkin karena pantai adalah tempat yang jauh dari angkasa dibanding gunung makanya mereka tidak bisa melihat bintang-bintang. Berbanding terbalik dengan pemandangan gunung yang membuat dia mendongak untuk melihat keindahan angkasa malam, pemandangan paling mencolok di pantai saat ini adalah bintang bersinar di dalam ombak laut.

"Begitukah?" pada awalnya Riku pikir Tenn mengatakannya sebatas respon, tapi kemudian Tenn menoleh kearahnya tersenyum-- seperti biasa-- dengan suara yang terdengar sangat menyakinkan. "Aku akan mengingatnya dengan baik,"

Another Story [VALIANT] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang