Pilihan

160 19 1
                                    

---//---

Pertengkaran.

Seharusnya begitu Riku menyebut situasi yang kini dia dan Tenn alami, tapi kalau disebut bertengkar sepertinya kurang tepat.

Entah Tenn memang tidak mau meladeni Riku atau karena Tenn tidak mau bertengkar dengan Riku, Tenn mengganti ekspresi tegangnya menjadi lebih lembut. "Aku minta maaf karena memaksamu. Kita akan bicarakan ini nanti yang terpenting sekarang tanganmu harus dibersihkan, Riku. Aku mohon,"

Seperti biasa Tenn mudah sekali mempengaruhi Riku yang keras kepala. Sesaat Riku hampir saja mengulurkan tangannya memenuhi permintaan Tenn, tapi dia tersadar untuk tidak luluh secepat itu.

Perasaan marah masih menguasai Riku jadi, dia menarik tangannya kembali membiarkan tangan Tenn mengambang di udara. Riku mengalihkan pandangannya ke samping. "Aku akan membersihkannya sendiri," kata Riku pelan.

Tenn tidak menjawab langsung. Setelah hening beberapa saat disertai embusan napas pasrah, Tenn berkata lembut. "Katakan padaku kalau kau kesulitan,"

Saat itu adalah keadaan yang sangat canggung. Tidak ada yang berbicara. Riku sibuk mengusap tangannya ke jubah miliknya dan Tenn memperhatikan dalam diam.

Bagi Riku sikap Tenn yang bertindak seolah tidak apa-apa sangat menganggunya. Padahal baru saja Tenn berubah menjadi sosok yang dingin dan dalam sekejap dia kembali menjadi orang yang lembut.

Riku bingung. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Kalau Tenn masih mempertahankan sosok dinginnya, Riku tidak akan merasa bersalah kalau berdebat lebih keras kepala lagi, tapi Tenn kembali menjadi sosok lembut yang menenangkan Riku.

Bagaimana mungkin dia bisa marah pada sosok Tenn yang itu?

Kebingungan yang makin dia pikirkan membuat Riku menjadi frustasi. Rasa itu menjadi-jadi melihat darah yang masih saja menempel di tangannya sekeras dan sekencang apapun dia coba.

Bau darah memuakkan membuat Riku menangis. Pada awalnya kedua mata Riku hanya memburam, tapi lama kelamaan air matanya turun. Semakin banyak sampai Riku mengasihini diri sendiri karena menangis separah itu di depan Tenn.

Padahal dia sudah bertekad untuk tidak menunjukkan sisi lemahnya pada Tenn atau Riku lagi-lagi kalah.

Tentu saja gestur menyedihkan Riku tidak akan luput dari perhatian Tenn. "Riku, apa semuanya baik-baik saja? Apa ada yang sakit?" tanya Tenn dengan nada khawatir.

Riku menunduk dalam hati berharap kalau dia tiba-tiba tuli dan tak mendengar perkataan Tenn. Semua kelembutan Tenn benar-benar mempengaruhi Riku.

Tenn mengangkat wajah Riku tanpa perlawanan. Mereka berdua bertatapan dan Riku bisa melihat seberapa berantakan wajahnya dari pantulan di manik Tenn. Tenn mengusap air mata Riku dengan ibu jari. Perlahan dan penuh kasih.

"Makanya aku bilang biarkan aku saja yang membersihkannya. Kau membuat wajahmu terkena darah," Tenn memasang raut muka penuh kecemasan.

Ah, mungkin tanpa sadar Riku mengusap air matanya dengan tangan yang terkotori darah. Sekarang Riku makin mengasihani diri sendiri. Wajah penuh air mata dan tercoreng darah. Seberapa menyedihkannya itu?

"Aku tahu ini akan terjadi," kata Tenn sendu. Kali ini dia menarik tangan Riku untuk membersihkan sisa darah yang tidak mau hilang, seberapa keras Riku mencoba. Lagi-lagi tanpa perlawanan karena Riku sendiri sudah kehabisan tenaga dan keinginan untuk menolak.

Tenn mengelus telapak tangan Riku pelan. "Kalau kau menggosoknya sekencang tadi, tanganmu bisa terluka, Riku,"

Tenn mengeluarkan sapu tangan dari balik jubahnya. Meletakkannya di salju sebentar kemudian baru menempelkannya di atas telapak tangan Riku. Mengusap noda darah perlahan begitu pelan seolah tangan Riku bisa saja terluka kalau dia menggunakan sedikit tenaganya.

Another Story [VALIANT] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang