9

5.3K 432 6
                                    


***

Mama..,

Suara yang sangat Rere rindukan beberapa hari ini terdengar, membuat langkahnya terhenti. Rere menoleh ke kanan dan kiri.

"Vi-vio?" ucap Rere lembut.

Wajah Rere mendadak pucat. Vio baru saja memanggilnya, namun sosoknya tak terlihat.

Dimana kamu, sayang? batin Rere.

Rere melanjutkan langkahnya kemudian berlari menyusuri jalan. Tak peduli lagi telapak kakinya tergores batu, semua ia abaikan agar menemukan putra kesayangannya.

Mama..,

Dan pada akhirnya Rere melihat Sanvio. Putra yang sangat ia rindukan tengah menatapnya dengan senyum hangat lalu merentangkan tangan. Hal yang selalu dilakukannya dulu saat mereka sering bermain di pantai. Rere tersenyum lebar, dengan tidak sabaran ia berlari menyongsong sang putra.

Sebentar lagi, Rere hampir berhasil merengkuh sang putra dalam pelukan, namun entah bagaimana sosok putranya menghilang begitu saja.

"Sayang..,"

"Vi-vio..," lirih Rere. Dan begitu tersadar, pandangan matanya tertuju pada sosok yang memanggilnya tadi.

"Jangan. , jangan pergi. Viooo!!" teriak Rere kemudian tersadar dari mimpinya.

"Sstttt.., Vio sudah tenang di surga. Sabar sayang, kamu harus kuat." Seseorang berucap sambil menyandarkannya di dada.

Rere sadar akan suara tersebut. Sontak saja ia mendorong pria tersebut. "Pergi! Jangan menyentuhku. Pergiii!!" Teriak Rere kuat.

"Re..,

Mengumpulkan seluruh tenaganya, Rere meraih bantal disisi kanannya lalu melemparkan ke arah Sigit, pria yang berstatus suaminya itu.

"Pergi, kamu. Aku bilang pergi!" teriak Rere histeris.

Sontak teriakan Rere membuat Renata dan Ridhan menuju kamar yang di tempati Rere saat ini.

"Re, ada apa?" Renata bertanya saat memasuki kamar tersebut. Dua buah bantal berserakan di lantai.

Duduk di tepi ranjang, Renata merengkuh Rere yang terus terisak. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Rere mau pun Sigit. Menyaksikan hal itu, Ridhan memijit pelipisnya pelan lalu menghembuskan napas lelah. Kemudian mengayunkan kaki meninggalkan kamar tersebut.

Seminggu yang lalu..

Sore itu Sigit pulang lebih awal. Berjalan dengan santainya ia memasuki dapur. Namun, sayup-sayup ia mendengar isak tangis dari lantai atas. Dengan langkah lebar, Sigit menaiki anak tangga. Saat ia tiba di lantai atas, pintu kamar yang dulu di tempati sang putra terbuka lebar. Suara tangis itu terdengar jelas.

Saat menghampiri kamar tersebut, Sigit mendengar suara Bi Atik dari arah dalam memanggil-manggil nama Rere. Tanpa berpikir lama, Sigit langsung masuk. Hal yang pertama dilihat Sigit yaitu tempat tidur rapi, bergegas ia masuk ke kamar mandi.

Sigit melebarkan matanya. Tubuh Rere tergeletak di lantai dengan nadi yang berdarah dan beberapa pil yang berserakan di lantai. Tak menghiraukan sosok Bi Atik yang sedang terisak sambil mengikat nadi Rere dengan kain, Sigit menggendong Rere. Dengan tergesa ia menuruni anak tangga diikuti oleh Bi atik.

"Bertahanlah Re," gumam Sigit pelan saat meletakkan tubuh Rere di jok belakang didampingi Bi Atik.

Sigit melajukan mobilnya bak orang kesetanan. Tak mempedulikan rambu lalu lintas lagi, yang ia pikir adalah menginjak gas agar cepat sampai dirumah sakit.

Mata Sigit terpaku pada sosok lemah Rere yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah pucat dan mata sedikit cekung. Tak ada tampilan wanita cantik yang biasa menghiasi wajah Rere.

"Bersyukur pasien cepat mendapatkan pertolongan. Jika tidak, entah apa yang terjadi padanya sekarang."

Kata tersebut terngiang di telinga Sigit hingga saat Rere telah di pindahkan ke ruang rawat inap. Mata Sigit sedikit memanas, menghantarkan dua titik bening yang membasahi pipinya. Dengan tangan gemetar ia meraih jemari Rere yang sedang di infus. Isakan yang sedari tadi di tahan Sigit lepas begitu saja.

"Jangan tinggalin aku," ucap Sigit di sela tangisannya. "Tolong jangan tinggalin aku, Re." Lanjut Sigit kemudian.

Meratapi penyesalannya, Sigit membiarkan rasa takut dan penyesalannya menguasai diri. Menarik lembut jemari Rere yang masih terasa dingin, lalu mengecupnya berulang-ulang. Entah apa yang terjadi pada Sigit jika Tuhan mengambil Rere saat ini juga.

"Maaf..," satu kata itu lolos di sela isakan Sigit.

"Maafkan aku, Re. A-aku tahu aku salah. Aku sudah menyakitimu terlalu dalam dan berulang-ulang. Tolong.., jangan tinggalkan aku seperti ini, Re." Tangisan Sigit menjadi lebih kuat.

Tanpa di sadari oleh Sigit, sudah ada Senja, Renata, Ridhan dan juga sang ibu yang mendengar kalimat panjangnya itu dari balik pintu yang tak tertutup rapat.

Setelah mendapat perawatan intensif beberapa hari, Rere sudah diperbolehkan pulang. Selama dirawat di rumah sakit, sikap Rere berubah menjadi lebih pemurung dan tak langsung menanggapi ucapan orang lain.

"Mbak, a-aku pulang ke rumah Mbak aja boleh?" ucap Rere dengan suara lirih, membuat Sigit yang memapahnya sedikit tersentak.

Renata dan Ridhan yang berdiri di depan pintu penumpang mengerutkan alisnya lalu saling bertatapan. "Oh, ayo kita pulang, rumah kami kan rumah kalian juga," jawab Renata lugas, seolah paham arti tatapan sang suami.

Perjalanan terasa hening. Sejak Rere masuk ke dalam mobil Sigit tak satu patah kata pun terucap dari bibir pucatnya. Sesekali Sigit yang tengah mengendarai mobilnya menatap ke samping. Dimana Rere duduk dengan mata yang terpejam. Sigit tahu jika wajah Rere saat ini penuh kehampaan.

Dengan hati-hati Sigit meraih tangan kiri Rere, menyatukan jari jemari mereka membentuk genggaman yang erat. Namun, Rere yang menyadari hal itu, langsung melepaskan jarinya dari genggaman Sigit. Hati Sigit mencelos. Rere menolaknya.

Sigit selalu menghampiri Rere sebelum pergi bekerja. Seperti pagi ini, dengan mengenakan kemeja slim fit biru dongker dan celana bahan, Sigit masuk ke dalam kamar yang di tempati Rere beberapa hari ini.
Hal pertama yang Sigit dapatkan adalah tempat tidur yang telah rapi. Ia tahu jika Rere sudah bangun sejak pagi. Seperti perkembangan yang selalu ia dapatkan dari Renata, kakak iparnya. Jika keadaan emosi Rere semakin membaik.

Setelah memeriksa kamar mandi dan tak menemukan sosok sang istri, Sigit memutuskan untuk pergi ke balkon. Benar saja Rere tengah duduk di kursi santai dengan pandangan sayu menatap guling bayi milik almarhum putranya. Bagi Sigit, pukulan terbesarnya adalah kehilangan sang putra. Tapi dia bukan jenis orang yang mudah mengeluhkan perasaannya pada orang lain.

Meletakkan nampan berisi air putih dan obat untuk sang istri dengan pelan, Sigit membuka percakapan. "Minum obat dulu."

"Hmm," Renata tak menghiraukan kehadiran Sigit, matanya masih fokus memandangi guling yang warnanya terlihat sedikit lusuh.

"Obatnya sudah aku siapkan, segeralah minum. Aku akan pergi ke kantor," ujar Sigit tak memaksa Rere untuk meminum obatnya.

"Pergilah.., dan aku mau kita bercerai."

***

Jangan lupa tekan *
Terima kasih🙏

Semoga sehat selalu☺️👌

Mantan PasanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang