21

3K 278 15
                                    


***

"Nah, Kak Re dah datang ni!"

Sigit yang tengah berbincang dengan warga sontak mengalihkan fokus pandangannya.

Deg

Disana, tepat di depan pintu rumah Bang Jamal, sosok yang selama ini ia rindukan tengah berdiri kikuk, mungkin rasa kaget yang sama tengah mereka rasakan.

"Apa dia baik-baik saja?" batin Sigit.

"Apa dia hidup dengan layak di tengah kampung yang serba terbatas ini?"

"Lihat, nak! Ibumu bahkan lebih kurus dari terakhir kali Papa melihatnya," semua itu hanya mampu Sigit ucapkan di dalam hatinya.

"Maaf, saya terlambat dan membuat bapak-bapak menunggu," akhirnya kalimat itu yang mampu Rere ucapkan setelah memutus pandangan matanya yang berseborok dengan Sigit.

"Ai, Kak Re. Tak ape, kami yang tak sedap hati dah ganggu waktu Kak Re nak pegi ngajar," sahut bapak yang lebih tua, bernama Burhan.

"Lah, Kak Re, duduk lah, ape lagi. Kami ni butuh pendapat Kak Re untuk berunding dengan toke Sigit ni, Kak," sahut Bang Jamal to the point.

"Maaf jangan panggil toke, cukup Sigit saja, Pak?" potong Sigit yang kini sedikit melirik ke sisi kanannya dimana Rere tengah duduk.

"Jadi, dah bise kite mulai berunding ni?" tanya Bang Jay.

"Jadi Bang Sigit, ape yang perlu kite sepakati pasal hasil laut kami ni?" tanya Pak Burhan selaku orang yang di tuakan.

"Ehem, seperti yang saya utarakan di awal tadi, saya ingin hasil tangkapan bapak-bapak nelayan ini seperti cumi dan beberapa jenis ikan yang seperti saya sebutkan di awal juga, untuk pasokan kafe kami di Tanjungpinang. Lalu, ikan yang tidak termasuk dalam menu kafe, saya akan alihkan pemasarannya di pasar ikan atau ke pengusaha kerupuk. Menurut bapak-bapak bagaimana?" tanya Sigit setelah menjelaskan panjang lebar tujuan kedatangannya.

Rere masih tenang menyimak ucapan Sigit. Hingga Bang Jay menyuarakan pendapatnya, "selain jadi toke penampung, ape Bang Sigit bise juge memberi pinjaman modal untuk kami saat angin kencang tak bise turun kw laut, Bang?"

Sejenak Sigit tampak mengerutkan dahinya yang tak luput dari pandangan Rere.
Hening.
Sigit belum bisa menjawab pertanyaan Bang Jay.

Hingga Rere yang sedari menyimak pun bersuara, "kalau menurut saya selaku orang luar dari kedua belah pihak, sebaiknya setiap nelayan dibuatkan buku catatan masing-masing. Tutup buku setiap bulan purnama. Biasanya nelayan disini berhenti turun ke laut pas tanggal 12 atau 13 menjelang bulan purnama, kan? Nah saat itu bisa dihitung hasil yang didapatkannya berapa, tapi alangkah bagusnya hasil itu tidak semua di berikan pada nelayan," terang Rere.

"Kalau tak kami ambil semue duit itu kelak di tilap toke ini, Kak Re!" seru bapak yang duduk paling sudut.

"Aog Kak Re! Rugilah kami, dah penat turun ke laut betaruh nyawe, tapi hasil tak sesuai," sahut yang lainnya.

"Tenang dulu pak, kite semue belum dengar penjelasan Kak Re. Untuk itu kite ngundang die ni supaye kite tak dirugikan," Bang Jaye menjadi penengah diantara riuhnya seruan yang tak sependapat dengan Rere.

"Boleh saya dengar kelanjutannya Kak Re?" tanya Sigit dengan kaku menyebutkan nama mantan istrinya tersebut.

Sontak Rere menoleh ke arah Sigit, debaran jantung belum stabil sedari ia tiba disini.

"Oke bapak-bapak. Maksud saya gini, hasil dari pendapatan bapak itu tidak semua diserahkan karena pertama menurut saya 75% uang pendapatan bapak terima ini untuk kebutuhan atau biaya hidup, lalu 15% uangnya untuk perbaikan jaring atau kerusakan sampan atau kapal, sisanya kan 10% uang itu masing-masing di simpan di Bang Sigit untuk antisipasi saat angin kuat dan kendala lain-lainnya. Jadi saat bapak-bapak mau meminjam, ada tabungan yang selama ini kalian sisihkan dari hasil penjualan tiap bulannya. Jadi, menurut saya kedua pihak tidak ada dirugikan dengan yang saya utarakan ini," jelas Rere panjang lebar.

"Saya bisa mengerti apa yang Kak Rere sampaikan, jadi saya jelaskan lagi ya, Pak." Sigit menjeda ucapannya, dalam hati ia tersenyum puas dengan ide yang Rere miliki.

"Jadi uang hasil laut bapak-bapak ini nanti dibagi 3 ya. Pertama untuk biaya sehari-hari, kedua untuk kerusakan kapal atau jaring, ketiga untuk tabungan bapak-bapak saat cuaca buruk atau saat angin kuat tak bisa pergi ke laut, jadi uang itu bisa bapak ambil ke saya."

"Berarti kami mesti punya catatan juga ya, Bang?" tanya Bang Jamal.

"Betul, jadi nanti saya punya catatan dan kalian juga punya catatannya juga." Jawab Sigit.

"Apa perlu kontrak kerjasamanya?" tanya Sigit lagi.

"Kontrak ape lagi, Bang?" tanya Pak Burhan tak paham.

"Surat perjanjian kerjasama, Pak. Saya kira itu perlu, mengingat Bang Sigit ini tidak tinggal sekampung dengan kita, lagi pula untuk urusan uang ni kan agak sensitif," terang Rere.

"Haha, aog mang Kak Re, pasal duit ni sedare pon jadi musuh e," seloroh warga yang kurang Rere kenal.

"Nah untuk inilah kite butuh Kak Re, makasih banyak e Kak, dah bantu kami semue yang bute tentang bisnis ni kan," ucap Pak Burhan bersungguh-sungguh.

"Pak Burhan terlalu berlebihan, saya senang bisa membantu warga," balas Rere.

Sigit terus mengamati interaksi yang Rere lakukan bersama warga kampung ini. Entah apa yang sudah dilakukan mantan istrinya itu hingga semua orang memuji-mujinya.

Sigit bertekad setelah ini selesai, ia harus menyelesaikan juga urusannya dengan Rere.
Ya, urusannya.
Urusan hatinya!

***

Haii,
Maaf ya kalo pendek & typo diusahakan rutin buat update.

Berbagi waktu biarpun riweh sama anak2 yang rempong minta cemilan ini itu, suami yang baru pulang mancing dan bakulan utk besok😊

Tetep semangat buat ibu2 tangguh yang ngerjain semuanya sendiri💪
Jaga kesehatan yak😘 

Mantan PasanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang