10

6.2K 443 3
                                    


***

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Hakim saat Sigit duduk dengan wajah lesu dihadapannya.

Setelah meninggalkan Rere dengan alasan pergi ke kantor, Sigit dengan terpaksa menyeret kakinya ke dalam kedai kopi sesuai alamat yang diberikan oleh Hakim.

"Apa setelah kehilangan seorang putra, aku terlihat baik-baik saja?" Sigit tak menjawab namun melontarkan pertanyaan sarkas yang disambut decih sinis sang kakak.

"Setelah semua hal yang kamu lakukan, ku kira dirimu tak terpengaruh sedikitpun," ujar Hakim.

"Apa tujuan pertemuan ini, Mas?" Sigit bertanya tanpa basa basi.

"Wah, adik kecilku sudah tidak sabaran rupanya." Hakim menjeda kalimatnya, "selesaikan urusanmu dengan Pak Tua itu dan puterinya."

Jleb

Wajah Sigit seketika memerah. Jika Hakim saja mengetahuinya, bagaimana dengan Ridhan. Menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba gatal, Sigit menjawab "bukan seperti ini akhir dari rencanaku."

"Benarkah? Apa kamu menikmati peran yang selama ini kamu lakoni? Kalau begitu, langkah yang ditempuh Rere sudah benar."

"A-apa maksudmu?" tanya Sigit saat tahu ada yang disembunyikan oleh Hakim.

"Umurmu tak lagi muda, pikirkan dengan matang segalanya. Saat ini Mas Ridhan tengah mengambil alih usahamu. Kamu sangat tahu orang seperti apa kakak tertua kita, kan? Jangan membuat masalah yang membuat Mama muram. Aku harus pergi. Camkan kata-kataku, Git."

Setelah mengatakan kalimat panjangnya, Hakim beranjak dari kursinya lalu meninggalkan Sigit termangu seorang diri. Meresapi kata demi kata yang dilontarkan Hakim.

"Pergilah, dan aku mau kita bercerai."

Perkataan Rere pagi tadi lekat dalam ingatan Sigit. Ia tak habis pikir kalau Rere akan sepicik ini. Sigit tahu Rere sedang tidak baik-baik saja, dia tahu Rere tengah berada dalam kehancuran, sama seperti dirinya. Dan Sigit pun tahu semua ini akibat ulahnya.

"Tepati janjimu, anak muda. Usia putriku tak lama lagi. Beri dia sedikit rasa bahagia."

Tiba-tiba Sigit teringat akan janji yang menyebabkan rumah tangganya hancur.

"Kalo Papa gak sibuk, Vio mau ajak Papa berenang boleh ya, Ma?"

Sepenggal kalimat yang Vio ucapkan pada Rere pun ikut hadir dalam benak Sigit. Ya, malam itu Sigit menguping obrolan singkat Vio dan Rere dari balik pintu kamar yang tak tertutup rapat. Hanya sebuah permintaan kecil, namun tak bisa ia penuhi hingga pangeran kecilnya kembali pada sang pemilik_Nya.

dret dret

Sigit tersadar dari lamunannya saat ponselnya bergetar. Melihat id penelpon membuat rahang Sigit menegang.

"Apa maksud semua ini? Kenapa kau memutus kontrak sepihak? Perjanjian itu berakhir awal tahun depan. Bangsat!! Kau mempermainkan nyawa putriku."

Sigit sedikit terkejut dengan ucapan orang yang menelponnya. Memutuskan kontrak sepihak? Bahkan sejak kematian sang putra, Sigit hanya masuk kantor beberapa kali saja. Lalu, satu nama melintas di benaknya. Tidak. Tidak mungkin kakak tertuanya ikut campur kan? Badai besar untuknya jika Ridhan sudah turun tangan membereskan hal ini.

"Aarrrrrrgghhh," Sigit kalut dan ngeri dalam waktu bersamaan.

Seketika Sigit menghubungi Bella, asistennya. Dan benar saja info yang di dapatnya, Ridhan tengah memimpin rapat besar pagi ini. Entah siapa yang mengizinkan seorang Ridhan bisa mengacak-acak kantornya, yang pasti hidupnya bergantung pada saudara tertuanya itu.

***

Bbrrraaaaakkk

Pintu ruang terbuka dengan seseorang yang tengah dilanda emosi tinggi. Sementara seseorang yang tengah duduk menatapnya dengan tenang.

"Bisakah tidak mencampuri urusanku, Mas?" Ujar Sigit dengan napas sedikit tersengal.

"Wah, kenapa? Terkejut? Apa 30% saham milik Mama yang kamu pegang itu membuatmu miskin? Atau kamu marah borokmu terbongkar adik kecil?" Ridhan menanggapi dengan enteng.

"Atau Pak Tua itu telah menghubungimu?" pertanyaan terakhir Ridhan menyentak Sigit.

"Apa harus jalan ini yang kamu lakukan, Mas?" tanya Sigit lirih lalu mendudukkan dirinya di sofa, seberang meja kerja yang ditempati Ridhan.

"Tanya pada dirimu sendiri, apakah harus kehilangan putramu dulu baru menyadari jika jalanmu sesat?"

Tak ada sahutan dari Sigit. Ia terus memijit pangkal hidungnya yang terasa pening.

"Pengorbananmu tak sebesar dana yang di gelontorkan Pak Tua itu, bukan? Kenapa tak menghubungiku atau Juna jika membutuhkan dana sebesar itu?"

"Karna aku lelah hidup dalam bayang-bayang kalian!!" Seru Sigit yang membuat Ridhan sedikit terkejut.

"Itu hanya pikiran kolotmu." Jawab Ridhan tak mau kalah.

"Benarkah? Mama memiliki empat anak lelaki, bukan? Saat Mas menjadi dosen dan memiliki beberapa bisnis, Hakim menjadi tentara sesuai keinganannya dan Juna memiliki bisnis yang tak kalah mentereng denganmu, lalu aku hanya menjadi pecundang. Menjadi utusan kalian kesana kemari. Harga diriku terluka, Mas."

Kalimat panjang Sigit tersebut membuat Ridhan tercenung.
"Aku tak pernah menganggapmu pecundang, Git. Aku hanya ingin kita membangun bisnis bersama. Suksesku pun suksesmu. Tapi, soal pecundang. Saat ini kamu memang pecundang, Git. Mengorbankan nyawa putramu, menyakiti Rere bahkan Mama, bahkan tak berani mengambil langkah tegas."

"...."

"Jangan lupakan keinginan Rere. Aries akan mengurus berkas perceraian kalian."

***


Mantan PasanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang