14

4.7K 350 8
                                    


***

Sudah tiga minggu berlalu pasca keributan yang Sigit lakukan di rumah Ridhan. Dan di kamar inilah Sigit berakhir mengurung dirinya. Kamar yang pernah ditinggali putranya, Vio. Mengabaikan segalanya, itu yang dilakukan Sigit. Bahkan ia pun lupa kapan terakhir makan dengan layak.

"Papa salah, nak. Papa bertanggungjawab atas semua ini. Mama... Mamamu pergi meninggalkan Papa, lagi." ucap Sigit lirih seraya memandangi figura yang ia genggam, menampilkan foto Vio dan dirinya saat makan es krim.

"Hukuman apa yang pantas untuk Papa selain penyesalan seumur hidup? Papa telah menyia-nyiakan waktu kita yang singkat."

"Bantu Papa untuk memperbaiki ini, nak. Bantu Papa menemukan Mama, agar Papa bisa memperbaiki hatinya yang sudah Papa hancurkan. Papa menyayangimu, Papa menyayangi kalian," tepat jemari Sigit mengusap figura, ponselnya berdering.

Alih-alih mengabaikannya, Sigit beranjak menuju nakas tempat ponselnya berdering.

Hakim is calling

"Ya."

"Masih hidup, bro?" sapa Hakim seraya terkekeh.

"Hmmm,"

"Masih mau bertapa lagi?" tanya Hakim mengejek

"Dimana, Mas?" Sigit bertanya dengan memijit pelan pelipisnya yang terasa sedikit pusing.

"Nah, ini baru adik gue. Jembatan Dompak."

"Tapi, Mas...

"Gue tunggu 15 menit. Buruan!"

Klik

"Sial*n," umpat Sigit setelah menyadari sambungan telponnya di matikan sepihak oleh Hakim, abangnya.

Melirik sekilas ke arah jam dinding disebelah kanannya, Sigit kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap.

"Keterlaluan lo, Mas!" seru Sigit saat selesai memarkirkan mobilnya ia melihat sosok Hakim tengah duduk bersantai diatas rumput hijau ditepi jalan.

"Kusut amat tu muka?! Belum selesai belajar ilmu menyesal nya? Huh?" Balasan Hakim telak menyentil harga diri Sigit.

"Gak gitu juga..,

"Pemanasan lo!" sebelum Sigit menyelesaikan ucapannya, Hakim sudah memerintah dengan suara beratnya seraya melirik jam ditangan kanannya.

Hakim ini unik. Tak seperti Ridhan yang pendiam dan selalu menunjukkan emosinya. Hakim ini memiliki sifat cuek namun tegas. Tak pernah sekalipun ia mengeluarkan suara beratnya, jika ia berkata demikian itu artinya ia sedang tak main-main lagi. Dia bukan tipe yang senang melampiaskan emosi dengan kekerasan.

"Mau lari sampe mana sih, Mas?" tanya Sigit yang menyusul Hakim lari dengan napas terputus-putus.

"Lemah lo. Lari segini aja ngeluh. Gimana lo mau ngejar Rere lagi?"

"Lo tau Rere dimana?" tanya Sigit saat sudah menyamai posisi Hakim berlari kecil.

"Lo pikir gue mau kasih tau gitu aja? Lari sampe depan kampus Umrah, itu." Hakim menjawab sini sambil menunjuk letak Kampus Umrah.

Tanpa banyak tanya, Sigit mengikuti arahan Hakim. Percuma mendebat orang selain Ridhan, ya Hakim ini.

"Apa yang lo pikirin sekarang, bro?" tanya Hakim setelah selesai meneguk air mineralnya.

"Rere dan penyesalan."

Sudah sepuluh menit mereka duduk selonjor diatas Jembatan Dompak ini tempat ia memulai aktifitas larinya. Selain menghubungkan pulau Dompak dan Tanjungpinang, jembatan ini juga menjadi rutinitas warga setempat untuk jogging atau sekedar jalan-jalan sore.

"Penyesalan? Sebesar apa sih yang lo rasain? Hmm?" kini suara Hakim lembut seperti berbicara dengan anaknya yang berusia balita.

"Sangat dalam, Mas. Entah Rere sudi memaafkan atau tidak."

"Perbaiki dirimu dulu, baru perbaiki yang lainnya, bro."

"Lo, tau Rere dimana?" tanya Sigit antusias.

"Rere ada dimana itu gak penting. Biarkan dia menyembuhkan lukanya. Ada waktunya dia akan kembali. Entah itu untuk kalian atau untuk dirinya sendiri." Hakim menjawab dengan pandangan ke arah sebuah kapal roro yang mengangkut barang melewati jembatan Dompak ini.

"Lo gagal jadi nahkoda, kapal kalian sudah karam. Apa lagi yang ingin lo perbaiki?"

"..."

"Kesempatan pertama kemaren, lo gak pergunakan untuk jelasin semua yang terjadi saat sebelum adanya Vio. Gimana lo bisa berharap ada kesempatan kedua, bro?"

Setelah percakapan panjangnya dengan Hakim pagi tadi, Sigit kembali mengurung dirinya didalam kamar almarhum putranya. Alih-alih memandangi foto sang putra seperti biasanya, Sigit merebahkan tubuhnya disisi kanan tempat tidur, posisi yang selalu ditempati oleh Rere saat akan menidurkan, Vio.

"Nak.., harusnya Papa merasakan hangat pelukanmu, seperti Mama." Ucap Sigit sambil membelai bantal kosong disebelahnya.

Ucapan Hakim terlalu banyak mengganggu pikirannya. Mungkin kemarin ia terlalu egois dan mementingkan dirinya sendiri. Bahkan, ia tak mampu menyelesaikan semua masalahnya.

dret dret

Juna
Besok pagi sarapan di kafe gue.
Jangan telat.

Sebuah pesan ia terima dari abang ketiganya. Juna, si penyabar dan penurut, selalu menjadi kepercayaan Ridhan. Berkat saudaranya inilah masalahnya selesai. Tentu ada campur tangan seorang Ridhan di belakangnya.

Tak mau menebak-nebak apa yang akan terjadi esok hari. Sigit memilih memejamkan mata. Entah kapan ia merasakan kantuk. Yang jelas, hatinya merasa sedikit tak sesak. Mungkin benar yang diucapkan Hakim. Sudah selesai ia menyesali semuanya.

***




















Mantan PasanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang