Bagian 24, Shenza dan Rasa Sakit

572 129 53
                                    

Jadi, ukuran adil untuk hidup seseorang itu seperti apa?
***

Varo menatap sosok yang masih belum sadarkan diri. Seorang dokter sedang memeriksanya. Cowok itu berusaha menghilangkan perasaan khawatir yang menyergapnya.

Awalnya ia hanya berniat menolong lalu pulang, tapi Arinda meminta bantuannya sekali lagi untuk menunggui Shenza karena dirinya hendak menghubungi keluarga cewek itu.

Shenza terkena tipes dan harus menjalani perawatan sampai kondisinya membaik. Entah apa penyebabnya karena Varo tidak bertanya lagi. Fokusnya terus tertuju pada sang mantan saat dokter bicara.

Seperginya lelaki paruh baya berseneli itu, ia melangkah mendekat. Varo tidak berharap Shenza melihat keberadaannya, tapi ia juga ingin cewek itu lekas sadar. Pikirannya bertambah kalut. Seperti ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui lebih dalam, apa saja yang telah dilalui Shenza selama ini.

Derap langkah yang terdengar membuatnya tersentak. Varo menegakkan badan kemudian mendekat ke arah pintu yang terbuka.

Ada Mentari yang tampak terkejut dengan keberadaannya. Namun, adik kelasnya itu segera menghampiri Shenza disertai raut khawatir yang kentara. Varo menatap Arin yang masih berdiri di dekat pintu. "Gue pulang."

Cewek itu mengangguk. "Thanks udah peduli sama sahabat gue."

Hanya gumaman pelan yang Varo berikan sebelum cowok itu melanjutkan laju kakinya. Ada perasaan berat yang kini memenuhi dadanya, seolah ia sendiri tak rela untuk pergi.

Benar saja, hingga hari selanjutnya Navaro masih tidak bisa menghilangkan kegelisahannya tentang cewek itu, bahkan kegaduhan kelas tak membuatnya terganggu. Varo jadi lebih kalem dari sebelumnya.

"Ngelamunin dia, heum?"

Varo mendelik pada Oji yang duduk di pinggiran meja, memberikan tatapan menggoda.

"Anak-anak pada penasaran setelah liat lo kemarin," tambah cowok itu membuatnya tak paham.

"Gue kenapa?" Varo bersikap seolah tak terjadi sesuatu kemarin, padahal saat ini saja pikirannya penuh oleh nama Shenza Aurora.

"Gak usah pura-pura polos deh. Lo ada hubungan apa sama anak sebelah sampai temennya yang beda sekolah aja kenal sama lo."

"Gak ada," elak Varo lalu mengambil buku dari laci meja. Oji yang tahu kalau sahabatnya hanya sedang menghindari pertanyaan segera merebut buku tersebut. Varo berdecak. "Mau lo apa sih? Gue lagi gak mood berantem."

"Gue mau tau hubungan kalian. Gue masih inget ya, gimana kalian saling lempar tatapan kebencian dan kemarin, lo keliatan khawatir banget sama dia." Oji menuntut penjelasan. Akhirnya Varo menyerah. Percuma menyembunyikan karena sahabatnya akan terus menganggu sebelum mengetahui kebenarannya.

"Nanti malem dateng ke rumah gue." Varo tidak mungkin menjelaskan semunya, apalagi sebentar lagi bel pulang sekolah tiba. Barulah Oji mengangguk dan turun dari meja untuk menghampiri temannya yang berkerumun di bagian belakang. Kebetulan sang guru sedang cuti melahirkan sehingga hanya memberikan tugas.

Mendesah, Varo menidurkan badannya. Teringat sesuatu ia segera menghubungi Bisma untuk meminta nomor Arin. Devin? Sahabatnya yang satu itu selalu sensitif jika berhubungan dengan mantan gebetannya. Ia pasti akan ditanyai macam-macam.

Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Varo segera mengirimi cewek itu chat.

Navaro: Rin, ini gue Varo
Navaro: Lo mau ke RS?
Navaro: Jaket gue ketinggalan, bisa bawain dulu gak? Entar titipin ke Bimbim

TRIP-EX ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang