I H Y H M - 7

3.6K 402 13
                                    

"Tidurlah Ji.. biar kami yang menjaga Haechan." Mark membantu Jisung berbaring. Tubuh Jisung kembali drop, Jisung tidak sekuat itu sekarang.

"Kak... ini salahku ya? Jisung salah? Kenapa ayah benci Jisung? Kakak bisa bantu jawab? Aku penasaran, hehe..." Jisung bertanya pertanyaan menyakitkan itu dengan tersenyum. Demi apapun, Mark tak bisa menahan air matanya lagi.

"Bukan sayang.. Jisung tidak punya kesalahan apapun. Jisung tidak pantas di benci. Yang membenci Jisung... adalah orang bodoh."

"Wah? Kalau begitu... Jisung juga bodoh ya? Jisung sangat membenci dia. Sangat benci!" Ucap Jisung menunjuk dirinya sendiri. Ia tersenyum menatap kakaknya polos. Mark, dia menangis entah kenapa.

Anak di depannya ini. Di sudah terlalu lelah di benci.

"Kak Mark? Kenapa hm? Kenapa menangis? Apa Jisung jahat?" Tanya Jisung lagi, dia mengelap perlahan air mata Mark.

Mark dengan perasaan campur aduk itu menggenggam tangan bungsunya. Mengecup telapak tangan itu, beralih pada dahi Jisung. "Selamat malam, jagoan. Kamu hebat. Kakak harap, kamu mau bangun besok.."

Jisung tersenyum.

Senyum penuh arti.

Kamar gelap itu menemaninya kini. Mark sudah keluar ruangan lebih dulu.

"Ma-hiks-mama... Jisung takut... kakak sedih.. kakak menangis lagi.. mama, mama lihat kan? Mama..."

Jisung mendekap lututnya erat. Pundaknya bergetar hebat. Ia menangis dalam diamnya.

Sekarang bagaimana? Jisung apakah harus menyerah? Atau menjalani sebisanya?

"Mama di sini sayang.. mama tau.. mama lihat itu... bertahan ya sayang? Sebentar lagi saja..".

.

.

"Haechan sudah bangun, keadaannya tidak terlalu parah. Tapi dia perlu di rawat selama seminggu."

Taeyong mengangguk. Ia meninggalkan ruangan Taeil. Ia melewati kamar Jisung.

Taeyong berhenti. Menatap jendela tembus pandang itu menatap putra bungsunya berdiri di jendela.

Tunggu?

"Jisung! Apa apaan kamu?!"

Taeyong masuk menarik putranya itu. Astaga apa ini?

"Kamu ini kenapa ha!?"

"Oh? Apa pentingnya? Aku mati itu adalah harapanmu kan?"

Tidak. Ini bukan Jisung. Bukan.

"Jisung sadarlah! JISUNG!!"

Jisung mengerjap lagi.

Kenapa? Aku kenapa? Ayah kenapa? Jangan lagi.

"A-ayah-"

PLAK!

"Kau benar benar tak tau di untung Jisung! Yang kau bilang benar. Lebih baik kau mati!"

Sunyi.

Hanya suara pintu terbuka yang memperlihatkan Jeno di sana.

"LALU KENAPA AYAH MENYERETKU TURUN?!! KENAPA!!!??"-

"Aku.. aku harusnya sudah mati sekarang! Iya! Seharusnya sudah mati!! Kau yang membuatku hidup!!"

Histeris Jisung meringkuk. Ia memojok kini memegangi kepalanya. Jisung frustasi. Kalimat ayahnya tadi menyakitkan. Sangat menyakitkan.

"Pergi ayah dari sini! Biar aku yang urus dia. Kau tidak becus!" Ucap Jeno mendorong paksa Taeyong untuk keluar.

.

"Jangan menuruti kata kata ayah tadi ya? Aku tidak mau kehilangan lagi."

Jisung mendengar itu. Ia memeluk Jeno erat kini, Jisung mengusap punggung Jeno. Jeno, kakaknya yang tak pernah mau ikut campu dalam hal apapun sama seperti Renjun.

Dia tidak pernah terlihat ketika Jisung di pukuli oleh sang ayah. Sebenarnya saudaranya tidak ada, tapi setelah selesaipun Jeno tidak pernah terlihat.

"Kakak... maaf.. aku.. aku sudah buat kakak merasakan kehilangan. Aku.. aku memang tidak pantas hidup kak.."

"Hey? Jangan pernah bicara seperti itu, oke? Semua sudah di takdirkan. Aku tau itu, kamu tidak perlu menyerah. Takdir yang akan menentukannya." Jeno membalas pelukan Jisung. Ia merasakan pundak Jisung bergetar.

Chenle benar. Jisung sudah terlalu lelah.

"Lihat kan Ji.. banyak yang sayang sama kamu. Kamu tidak pernah sendirian. Aku dan mama selalu di sini."

"Tidur ya? Besok mau kan ketemu Haechan?"

Jisung mengangguk antusias. Ia menurut, berbaring dan memejamkan matanya.

Setelah merasa Jisung benar benar terlelap. Jeno beranjak dari sana. Ia meninggalkan Jisung sendiri.

"Jisung? Ini Jisung? Dan kamu? Kamu adalah eumm... Icung? Sekarang aku Jisung dan kamu Icung! Aku akan mengambil alih sementara jika kamu lelah."

"Icung sakit tidak? Tidak ya? Biar aku yang merasakan sakitnya. Icung tidur saja."

"Wahh Icung hebat! Icung bisa mendapat nilai tinggi! Kamu hebat sangat hebat!"

"Biar aku yang ambil alih. Anggap saja, ayahmu khawatir. Semua akan baik baik saja. Baik baik saja.."

"Maaf Ji... kakak takut, kakak gak bisa jaga kamu dengan baik... keputusan kakak menjauh itu salah Ji.. maaf.." Jeno bersandar di dinding rumah sakit yang dingin itu. Hanya Jeno yang tau. Bungsunya itu, selalu bersembunyi. Bungsunya itu selalu takut. Jeno harap hanya Jeno yang tau.

"Mama... Jeno salah.." Jeno mengelap kasar air matanya, "Kenapa mama selalu nangis kalau datang ke mimpi Jeno? Kenapa gak pernah mama tersenyum? Kenapa mama cuma minta Jeno jagain Jisung ma?" Jeno meracau, iya akhir akhir ini ibunya terus datang ke mimpinya.

Namun, semua berakhir menjadi mimpi yang sedih. Sang ibu hanya menangis terisak memohon pada Jeno untuk melindungi Jisung. Ibunya selalu memohon itu. Dan berakhir dengan kalimat. "Selama ini Jisung sudah sangat kuat sayangku.. mama takut dia lelah."

Dan selalu di sahuti Chenle dengan kalimat yang menyakitkan. "Dia sudah terlalu lelah kak. Sudah terlalu lelah."












→←→←→←→←

Dari pada gak bisa tidur mikirin alur ini mending di ketik dikit dikit deh ya:) aku trauma mau begadang:(

>Tinggalkan Jejak bila berkenan<

I Hope You Hear Me ¦ Jisung NCT[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang