I H Y H M - 2

6.2K 472 46
                                    

Derap kaki itu terdengar kesal. Jisung yang d mengekori Mark bergidik ngeri. 'Kira kira seperti apa ya nanti?' Batinnya dengan pertanyaan pertanyaan polos miliknya.

BRAK!!

Pintu itu di banting dengan kuatnya oleh Mark. Seisi rumah terkejut - kecuali perabotannya.

'Aish? Sakit tidak? Apa perlu aku obati?' Begitu melewati pintu Jisung kembali diam menatap kasihan pada pintu itu. Mungkin kalau tuan pintu bisa menjawab ia akan lebih ke mengumpat dari pada menangis'kan?

"KENAPA AYAH SELALU SAJA EGOIS HA?! Kenapa ayah tidak pernah mau mendengar Jisung?!"

Sang ayah diam, namun detik berikutnya ia berucap, "Apa kau tak membencinya?"

Jisung terdiam, mengerjap polos menatap kakak kakaknya satu per satu.

"Aku benci. Tapi tidak untuk menghakiminya. Aku benci ayah yang selalu tuli di depan Jisung. Aku lebih benci ayah yang tidak pernah merasa bersalah setelah menghukum dia." Mark marah, ia marah sampai menangis. Ah.. Mark benar benar kecewa pada ayahnya.

Jisung? Dia hanya diam. Kalian tau? Sebenarnya Jisung lelah, dia ingin ikut 'mama'nya berkali kali. Tapi gagal karena Mark dan Haechan selalu ada di pikirannya. Juga, ada Chenle yang selalu memberinya ocehan....


Di dalam mimpinya.

"S-sudah kak. Nanti tetangga marahh..." ucap Jisung mengelus elus pundak kakak sulungnya itu.

"Kita tidak punya tetangga."

Memang dasar Jeno si perusak suasana. Ada apa dengan pria itu? Jisung pun tau.. tapi setidaknya membuat Mark sadar jika tidak seharusnya ia berteriak pada ayah kan?

"Huhh~ baiklah, untukmu. Dan kau ayah, jika aku melihat luka di tubuh Jisung 'lagi' aku tidak segan segan melaporkanmu!"

Ini.... inilah alasan Jisung masih ingin berada di sisi mereka. Tapi mau bagaimana lagi? Jisung terlanjur lelah. Sejak ia lahir ia tak pernah mendapat sebuah kasih sayang. Untung untung jika Mark dan Haechan ada di rumah.. kalau tidak? Iya, Ia akan mencoba untuk istirahat....

Selamanya.

.

.

"Chenlee~ aku boleh minta satu hal?"

"Ah aku tau kau sungguh pelit tapi... kumohon satu iniii saja. Tolong buat mereka bahagia, bersama ayah. Aku akan ada di sampingmu sebentar lagi... jadi tolong ya? Minta pada Tuhan. Aku ingin mereka lebih bahagia tanpa sesal, hehe~ aku harap kau bisa Chenle.... aku harap.. hiks.. enghh, jangan menangis Jisung. Kau kuat! Pemuda yang kuat!!"

Jisung melangkah kembali, kini ia duduk di sebuah kursi yang didepannya terdapat meja belajar yang cukup luas. Tapi tidak lagi karena sudah banyak di isi foto-foto yang tidak sengaja Jisung potret. Tapi.... semua itu sengaja ia abadikan. Katanya, agar kakaknya tidak melupakannya.

"Chenlee~ kata mama- no, mama pernah nulis di suratnya. Kita berdua itu hampir aja kembar hihi~ tapi justru.. satu tahun setelah kamu aku baru hadir." Jisung menatap sebuah foto. Foto yang dia ambil 4 tahun lalu.

"Dan.... karena aku juga, kamu jadi kehilangan sosok ibu ya? Apa seharusnya aku gak ada? Tapi kenapa setiap kamu datang, kamu gak marah sama aku? Aku kira kamu bakal marah marah kaya dulu. Tapi.... kenapa kamu datang dengan senyum dan kadang... sambil menangis?"

"Manis.... icung minta maaf ya? Semua karena aku gak bisa jaga kamu... kamu pergi sama mama, ninggalin aku disini. Manis? Kapan aku bisa ikut?"

Ah hentikan itu. Darah segar berbau amis itu mengalir di saat yang tidak mengenakan.

"Ma.... sakit- hiks- eghh... tidak Jisung tidak. Aku harus kuat, mama sabar ya? Jisung minta waktu lagi... boleh ya?"

"Ma... seandainya mau ajak aku pergi... jangan buat aku terlihat sakit, aku... tidak mau mereka melihatku dengan kasihan.

.

.

.

"Pagi kak Mark.."

"Hmm, pagii..." Mark menoleh manatap bungsunya itu lekat. Wajahnya selalu seperti itu tiap pagi. Pucat dan tak memiliki niatan hidup.

"Kenapa kak?" Mark mengerjap, baru sadar ia menatap Jisung dengan tatapan yang datar.

"Ng- nggak papa. Kamu mau sarapan apa?"

"Emm? Seadanya aja kak... oh iya.. ayah?"

"Kamu? Hah~ aneh udah di pukulin sampai lebam sekujur tubuh kamu masih sempet nanyain dia?"

"Kak... jangan gitu, dia itu ayah loh. Wajar dia kaya gitu kan? Kakak juga sebenarnya sama, benci sama aku. Tapi pemikiran kakak lebih dewasa. Aku tau kak, aku paham.."

"Ji.. eh kamu mau kemana?!"

"SEKOLAHH!!" Teriak Jisung yang sudah tak terlihat wujudnya itu.

Mark menggeleng pelan. Dia menatap piring milik Jisung itu. Isinya kosong dan gelas susunya entah di bawa kemana oleh anak itu.

"Ma.. Mark benci, benci sekali sama dia. Tapi... melihat dia yang paling hancur ketika mama dan Chenle pergi. Aku gak bisa lebih dari ini."

.

.

.

"Ji- hei?! Kamu ngapain??"

Jisung menoleh menatap pemuda yang berdiri di depannya itu datar. "Sudah sana. Aku mau disini sebentar lagi saja."

"Jisung? Sejak kapan kamu kaya gini?! Kamu gak sayang sama kulit kamu? Kamu gak kasian sama mereka?!"

"A-aku? Aish perihh... Haruto?"

"Apa ini? Kamu kenapa?!"

"Ma-maaf..."

Jisung menunduk dalam. Ia berusaha menghindari tatapan Haruto yang terlihat tajam ke arahnya.

"Kelainan? Kelebihan? Apa ini Jisung?"

"A-aku... aku menciptakan 'aku' yang lain tanpa sengaja."

Haruto mendelik. Ah, ia paham maksud Jisung. Ia mempunya kepribadian ganda yang di paksa untuk ada olehnya.




→←←→←→←

Ngarang aja:( emang bisa ya? Buat kepribadian yang lain secara paksa?

>Tinggalkan Jejak bila berkenan<

I Hope You Hear Me ¦ Jisung NCT[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang