5

832 152 10
                                    

Matahari sedang gencar-gencarnya memamerkan eksistensi. Teriknya siap membakar siapa pun yang melintasi. Tak luput membuat mata mengernyit, menyipit menahan sengit. Tapi hal itu tak berlaku di dalam bangunan tua yang lembab ini, sunyi dan sepi. Setidaknya genting-genting bolong itu masih mampu melindungi.

Ah, sebenarnya tidak sesepi itu, di dimensi lain dalam rumah ini terdapat lima makhluk tak kasat mata yang sedang berkumpul di ruang tengah. Empat di antaranya adalah hantu, dan satunya lagi arwah gentayangan.

"Hahaha, jadi seperti itu ceritanya, Junkyu-ya? Maafkan Mashiho, dia memang suka menjahili orang." Yoshi memberikan respon pertama setelah selesai mendengarkan cerita panjang Junkyu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.

"Tak apa, justru aku berterimakasih kepadanya. Berkat kehadiran Mashiho malam itu, aku jadi tidak kesepian di rumah. Kami berteman dengan baik setelah itu," timpal Junkyu.

Sedangkan Mashiho dengan wajah tanpa dosanya lebih memilih untuk tak membuka suara, diam dengan sunggingan senyumannya.

"Kim Junkyu, boleh aku menanyakan sesuatu?"

Junkyu mendongakkan wajah menatap sang penanya, yang ternyata adalah Asahi. "Ehm! Tentu saja boleh, Asahi."

Asahi mendekat, lalu mengambil posisi setengah duduk di pinggiran sofa yang mereka tempati. "Kenapa selama ini kau hanya bisa melihat dan berinteraksi dengan Mashiho?" tanya hantu asal Jepang itu menggunakan nada datar andalannya.

"Ah, benar! Aku juga penasaran akan hal itu selama ini, Junkyu-ya," sahut Yoshi menyetujui pertanyaan Asahi.

Pemuda Kim itu tampak menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, memasang raut bingung di wajah rupawannya. Jujur, ia sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Setelah kejadian horor di malam itu, Mashiho mengajaknya berkenalan. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya mereka menjalin hubungan pertemanan berbeda dimensi begitu saja, tidak terencanakan sebelumnya, bahkan tak pernah terpikirkan olehnya.

"I-itu... aku juga tidak mengerti." Junkyu meragu.

Kini Asahi, Yoshi, dan Haruto kompak menaruh sorot matanya ke arah Mashiho, menatapnya tajam penuh telisik, seolah menagih jawaban. Sedangkan hantu yang memiliki postur badan paling kecil di antara mereka berlima itu pun terlihat mengernyitkan dahi, tidak mengerti akan maksud tatapan mengintimidasi teman-temannya.

"Yaa! Yaa! Yaa! A-apa maksudnya ini? Kalian mencoba membunuhku dengan tatapan itu, huh?" protes Mashiho gelagapan.

"Tak perlu dibunuh, Hyung. Kau sudah mati jika kau lupa," cibir Haruto yang dibalas Mashiho dengan memelototkan mata tidak terima.

Yoshi menghela napas, jengah dengan kelakuan kedua teman hantunya yang selalu mencari keributan itu. "Sudahlah. Jadi, Mashiho, apakah ada jawaban?"

"Sejujurnya aku juga tidak bisa memberi jawaban pastinya. Tapi... mungkin karena kami memiliki latar belakang yang sama. Bukankah begitu, Junkyu-ya?" Mashiho bercanda, ia hanya asal menjawab.

Sedangkan Junkyu, ia hanya bisa mengedikkan bahu tak acuh.
























Kim Jae-hwa mendatangi kediamannya tepat pada pukul lima sore. Bersama sang suami, wanita yang sudah berkepala empat itu menenteng kantung belanjaan di tangan kanan dan kiri. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya Jae-hwa tampak bahagia, seolah tak ada beban atau pun masalah yang menghantui dirinya. Ia lupa akan anaknya yang sedang terbujur kaku di ranjang rumah sakit berjuang melawan maut.

Sebenarnya Jae-hwa sudah tidak peduli, ia ikhlas apabila malam itu Junkyu meregang nyawa di tangannya sendiri. Meskipun tak ada lagi yang bisa ia perdaya, setidaknya ia tak harus pusing mengurus tingkah anaknya yang seringkali membuatnya naik pitam itu.

Tapi takdir berkata lain. Yoonbin datang, sepupu sekaligus teman satu sekolah Junkyu itu datang untuk berkunjung seperti biasa, mengajak pemuda yatim itu bermain. Karena, ya, sejujurnya teman Junkyu di dunia nyata hanyalah Yoonbin seorang. Bukannya tak ada yang mau berteman dengannya, hanya saja Junkyu sendiri yang kelewat introver. Ia terlalu malu untuk membuka pertemanan dengan orang asing.

Namun, malam itu yang didapatkan Yoonbin adalah pemandangan mengenaskan dimana tubuh Junkyu tergeletak tak berdaya di lantai kamar kedua orang tuanya. Tentu saja Yoonbin langsung membawanya ke rumah sakit, dan untungnya nyawa Junkyu masih bisa terselamatkan, meski harus mengalami koma.

Sedangkan Kim Jae-hwa? Ia tak peduli, wanita yang berperan sebagai ibu kandung Junkyu itu menyerahkan semuanya ke keponakannya. Masih hidup ya syukur, mati juga tak apa.










"Sayang, kau tak berniat menjenguk Junkyu di rumah sakit?"

Jae-hwa yang baru saja melepaskan jaket musim dinginnya itu menoleh ke arah sang suami. Wanita itu sedikit mengerutkan alisnya bingung, tidak tau maksud dari perkataan Kim Wang-jun. "Apa maksudmu? Kau mulai peduli dengannya?"

Wang-jun memutar bola matanya. "Apa kau bercanda, sayang? Tentu saja aku tidak peduli dengannya sama sekali. Tapi... bukankah kita tetap harus mengunjungi anak itu sebagai bentuk formalitas?

"Jika Junkyu mati, bukankah keponakanmu itu tak akan tinggal diam? Bagaimana jika kita dilaporkan ke polisi?" tanyanya kemudian.

Jae-hwa diam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. "Cih, anak itu memang menyusahkan saja."

"Seharusnya kau tak perlu membuatnya sampai seperti itu, Jae-hwa! Bukankah ada baiknya anak itu tetap hidup dan menjadi budak kita selamanya, huh!?" cecar Wang-jun dengan menaikkan nada bicaranya.

Selama ini Wang-jun memang tidak pernah berkelakuan kasar kepada Junkyu. Pria paruh baya itu hanya memperlakukan anak tirinya layaknya budak yang sudah sebagaimana mestinya patuh kepada majikan. Bukannya Wang-jun tidak tega atau iba kepada Junkyu, hanya saja ia malas untuk mengotori tangannya, lagipula tindakan yang dilakukan istrinya sudah lebih dari cukup baginya.

"Yaa! Kau menyalahkanku!?" teriak Jae-hwa tidak terima atas dirinya yang disudutkan.

"Setidaknya kau tak membiarkan Yoonbin membawa Junkyu ke rumah sakit. Jika sudah seperti ini urusannya akan panjang."

Jae-hwa meneguk salivanya sendiri seraya mendengus kasar. Ia frustrasi sekarang, perkataan suaminya itu ada benarnya. "Kita harus menyingkirkan Yoonbin," lirih ibu satu anak itu setelahnya.

Wang-jun mengangguk pasrah. "Ya, tak ada jalan lain."






















"Apa kau baik-baik saja, Kim Junkyu?"

"A-aku, Y-yoonbin... tidak bisa, tidak bisa dibiarkan... a-aku harus memberi tahu Yoonbin secepatnya, Haruto," rancunya, panik.

Haruto yang sedari tadi ikut menyimak percakapan kedua orang tua Junkyu itu paham akan apa yang selanjutnya terjadi. Ia juga cukup bisa memahami perasaan Junkyu saat ini. Pemuda yang sedang koma itu harus mengesampingkan rasa sedihnya mengetahui bahwa orang tuanya hanya menganggapnya sebagai budak, diganti dengan rasa cemas dan khawatir akan nasib sepupunya yang terancam akan marabahaya.

"Yoonbin dalam bahaya, t-tapi bagaimana caraku memberitahunya dengan kondisiku yang seperti ini?"
























-To Be Continued-







-To Be Continued-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Damn, I'm A Ghost ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang