Maaf, bila rasaku mengganggumu
—Raini Angkasa
———
"Des kecapnya dong!" Pintaku pada Desi.
Aku dan Desi sedang makan siang di Kantin Mawar. Desi adalah teman kedua yang ku kenal di kampus setelah Ezha. Kos kami berdekatan, mungkin hanya berjarak 15 meter. Oleh karena itu, aku sering bersama dengannya baik di kampus maupun sekedar main di luar.
"Makasih." Ucapku sambil menyambut kecap yang diberikan Desi.
"Habis ini kelas Rai?" Tanya Desi
"Iya, Kalkulus"
"Bu Indri ya?"
"Iya"
"Hati-hati jangan kegep ngantuk, bisa abis haha!" Desi tertawa terbahak-bahak, pasalnya minggu lalu ia yang kegep Bu Indri sedang mengantuk di kelas Kalkulus. Akhirnya, Desi dikeluarkan dari kelas tanpa diperbolehkan mengisi daftar hadir.
Aku ikut tertawa mengingat bagaimana ekspresi Desi saat bercerita padaku hari itu. Teringat jelas wajahnya yang begitu panik tapi aku tak kuasa menahan tawa.
"Fadil, jangan diabisin minumanku!" Teriak Desi pada Fadil yang tiba-tiba menarik es teh manis milik Desi. Entah sejak kapan Fadil tiba-tiba datang.
Tawaku semakin pecah karena ulah mereka. Fadil dengan wajah tak bersalahnya dan Desi dengan wajah kesalnya.
Pukul 12.50. 10 menit lagi kelas Kalkulus dimulai. Aku segera beranjak dan membayar sepiring nasi uduk yang sudah habis kumakan.
"Ayo Dil kelas, jangan mesra-mesraan mulu." Ucapku pada Fadil yang masih saja berseteru dengan Desi, yang kali ini perihal pulpen.
"Iya ntar aku ganti pulpen MAHALMU itu!" Ucap Fadil menekankan kata mahal namun dengan wajah penuh ejekan kepada Desi, kemudian berjalan menujuku dan bersiap ke kelas.
"Jangan suka ngibul deh! es teh manis aja masih nyolong!" Sahut Desi tak mau kalah.
"Udah ga usah ribut, kami duluan ya Des, byee!" Pamitku pada Desi, memutus tali pertengkaran antara Desi dan Fadil.
Sampai di kelas. Aku melihat Ezha. Kali ini berbeda. Bisanya ia akan mengosongkan kursi disebelahnya untukku begitupun sebaliknya. Tapi mengapa sekarang kursi itu terisi oleh seorang wanita?. Aku menggeleng pelan, membuang jauh pikiran negatifku. Mungkin Ezha tak sempat menjagakan kursi untukku.
Akhirnya aku memilih duduk bersama Fadil di barisan kedua pojok kiri.
30 menit berlalu. Mata kuliah Kalkulus mengalir diotakku, tapi tak satupun singgah walau sebentar. Aku mulai jengah dengan berbagai angka yang menari-nari di papan tulis. Kurasa aku salah jurusan.
"Fadil ngerti ga?"
"Aku?"
"Iya"
"Yaa..enggak dong!" Jawabnya dengan wajah yang dibuat-buat seolah ia paham dengan materi kali ini.
Aku menahan tawa melihat wajahnya. Beginilah gambaran dua mahasiswa yang kuliah hanya untuk mengisi daftar hadir saja haha.
Aku melirik ke barisan Ezha duduk. Ia terlihat begitu serius. Memahami segala keterkaitan antar rumus dan angka di papan tulis. Terlihat sesekali ia mengajari sesorang di sebelahnya—Lauren. Ezha pernah bercerita bahwa Lauren adalah temannya saat di bangku SMA. Tak ayal jika mereka cukup dekat dan orang tua merekapun saling mengenal.
Dari beberapa berita burung yang kudengar, saat SMA mereka cukup dekat karena sering mengikuti lomba bersama. Yap, mereka terkenal sangat pintar. Saat kuliah pun banyak yang berlomba ingin sekelompok dengan salah satu diantara mereka saat ada tugas besar.
Lauren adalah sosok sempurna, jika dibandingkan denganku tentu kalah jauhnya diriku dengannya.
Entahlah, melihat kedekatan mereka ada pilu yang memburu. Tak bisa kuredam. Pantaskah aku cemburu?
Fadil menyenggol pelan bahuku, menyadarkan lamunan. Ternyata kelas sudah usai. Aku harus menghampiri Ezha dan bicara padanya. Aku merapikan alat tulisku terburu-buru segera menghampiri Ezha yang masih duduk manis di kursinya. Tak peduli tatapan bingung yang Fadil tunjukkan padaku.
"Ezha!" Ucapku ramah padanya
"...."
Tak ada jawaban. Ia malah sibuk membuka ponselnya, seperti sedang mencari sesuatu yang penting.
"Zha, habis ini ajarin aku—," Ucapanku terhenti saat ia menyodorkan handphonenya padaku.
Mataku membulat terkejut. Ada apa ini sebenarnya, siapa pemilik akun itu!
"Zha—," Lagi-lagi ucapaku dipotong olehnya.
"Jangan jatuh cinta dan silakan pergi!" Ucapnya dingin dan penuh penekanan.
Hanya itu yang ia ucapkan, tanpa penjelasan dan tanpa mau mendengar aku menjelaskan.
Ezha pergi melaluiku begitu saja.
Sungguh sakit. Orang yang selama ini menjadi benteng kepercayaanku, memintaku pergi tanpa alasan.
Mataku memanas, menahan air mata yang hendak berlinang. Sekelebat kenangan bersama nya masih merekat dalam ingatan.
Kepergiannya memang dengan bahasa yang santun, namun apakah sopan jika sudah pergi tanpa berpamitan?
———
I hope you like this story
Don't forget to vote and comment✨Sincerely,
Kataaocta
KAMU SEDANG MEMBACA
Tupa, Toni, Temu
Ficção AdolescenteKisah Raini yang menyukai teman seangkatannya dan Tupa Cafe dengan segala kejutan didalamnya.