gloves #7

420 114 25
                                    

"aku ingin hidup."

Dengan sisa tenaga yang dia miliki, meski tenggorokannya panas dan terasa mencekat, Yedam berusaha menggumamkan kata-kata itu.

Sang kematian kemudian duduk dihadapan Yedam, berjongkok. Yedam bisa melihat lebih jelas wajah malaikat maut satu ini, pipinya berisi, wajahnya terlalu lucu untuk menjadi sang kematian.

"Tenang, ini tidak akan sakit. Aku akan mengeluarkan jiwa dari ragamu, oke?"

"Kumohon, aku ingin hidup."

"Sekarang kau memohon untuk hidup? Tapi kau sendiri yang mengakhiri hidupmu." Ucapnya pada Yedam.

"Kumohon, aku berjanji akan menjalani hidupku dengan baik kali ini, aku mohon." Ucap Yedam lagi, matanya terus memandang kedua bola mata milik sang kematian.

"Padahal pemilik semesta sudah memberimu anugerah suara yang merdu, keluarga yang berkecukupan, harusnya kau bersyukur. Hanya karena satu hal yang kau inginkan tidak terwujud kau memilih untuk menyerah. Dirimu masih muda, ada banyak hal yang bisa kau lakukan Bang Yedam."

"Aku menyesal." Satu tetes air mata akhirnya jatuh dari mata hazel milik Yedam, dia menangis karena rasa sakit dan juga rasa sesal yang mendadak hadir. Benar sekali, lihat betapa tidak bersyukurnya dia. Memilih jalan pintas, merutuki hidupnya hanya karena satu hal yang dia inginkan tidak tercapai. Merasa semesta jahat padanya padahal ada banyak hal baik yang sudah diberi semesta untuknya.

Sang kematian menghela nafas, memandang Yedam dengan penuh iba. "Kau menyesal sekarang? Tapi semua sudah terlambat."

"Beri aku kesempatan, kumohon." Ucap Yedam untuk terakhir kali sebelum semua tenaganya habis karena rasa sakit yang menyiksanya itu.

"Kumohon." Pinta Yedam sebelum menutup mata. Hal terakhir yang dia lihat adalah sang kematian yang  tersenyum kemudian meletakkan tangannya di dahi Yedam.

"Akan kuberikan hidupku untukmu, jadi hiduplah dengan baik kali ini."

***

"Lalu aku terbangun di rumah sakit, kata ibuku dokter berhasil menyelamatkanku. Tapi sebenarnya, sang kematian itulah yang menyelamatkanku."

Yedam menutup ceritanya meminum matcha latte yang telah dia pesan sebelumnya. Semua kejadian yang dia ceritakan masih tersimpan dengan jelas di kepalanya. Bahkan dia masih ingat dengan jelas bagaimana rasa sakit dan panas di perut dan tenggorokannya saat itu.

"Tunggu, maksudmu si malaikat maut itu tidak mencabut nyawamu?"

Yedam menggaguk. "Dia melalaikan tugasnya, melanggar perintah yang diberikan untuknya."

"Kenapa dia melakukan itu? Maksudku, dia pasti sudah sering mencabut nyawa seseorang."

Yedam menggeleng. Hal itu juga masih menjadi misteri untuknya.

"Pasti ada sesuatu yang istimewa di dalam dirimu hyung, sampai malaikat satu itu memilih melanggar tugasnya." Lugas Doyoung, dia kemudian menatap lekat wajah Yedam.

"Jika aku menjadi sang kematian itu, aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama, menyelamatkanmu meski harus melalaikan tugas."

Yedam mengalihkan pandangannya dari sepotong kue yang ada di meja kearah Doyoung, menaikkan satu alisnya. "Eh? Kenapa?"

Doyoung tersenyum sekilas, dia kemudian kembali menatap figur wajah Yedam dengan lekat seakan ingin mengabadikan objek yang sedang dilihatnya ini.

"Wajahmu terlalu manis, aku tidak akan tega melihatmu kesakitan."

Doyoung mengatakan kalimat barusan dengan nada santai namun sukses membuat pipi Yedam merona.

Gloves - DODAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang