Malam ini adalah malam Rabu, acara manaqib di gelar di sebuah pesantren yaitu pesantren Al Bidayah. Nailah rutin setiap Minggu hadir, untuk menghadiri acara majelis taklim tersebut. Dia selalu pergi bersama sepupunya yaitu Sila. Sila lebih tua dan sudah menikah. Suaminya bahkan alumni pesantren Al Bidayah. Sebuah mobil bak terbuka menjadi kendaraan Nailah dan Sila untuk menghadiri majelis taklim, bersama warga yang lain dari RT sebelah.
” Dingin Nailah” imbuh Sila.
” Pakai ini, anak kamu kedinginan nanti” ujar Nailah seraya memberikan kain sarung bercorak batik kepada Sila agar menyelimuti anaknya Indra. Udara sangat dingin malam ini, musim kemarau sedang melanda. Malam sampai besok pagi dinginnya sangat luar biasa dan siangnya sangat panas, sebuah pedesaan menjadi tempat Nailah. Nailah yang awalnya bekerja di sebuah bank di Jakarta pulang untuk menetap di kampung dan dia tidak memiliki pekerjaan apa-apa. Anak pertama dari 3 bersaudara, menjadi anak pertama tidak mudah untuk Nailah. Dia masih harus membiayai sekolah kedua adiknya tapi karena dia tidak mau bekerja lagi di bank dia berhenti. Proses hijrahnya di dukung oleh sang ayah Jamal.
” Sampai” seru supir dan mobil berhenti, supir keluar untuk membuka bak mobil tersebut dan semuanya turun dari bak terbuka satu-persatu. Termasuk Nailah, jemaah yang lain memperhatikan kedatangan rombongan warga tersebut dan tatapan seorang pria menatap Nailah dengan tatapan penuh kekaguman. Dia beristighfar karena takut berlebihan. Nailah menggendong Indra dan pria itupun merasa pupus harapan karena berpikir Nailah sudah memiliki anak. Sebut saja pria itu Zaid, Zaid Usman Abdulllah namanya. Seorang ustadz muda yang menjadi musyrif di pesantren Al Bidayah. Rumahnya tidak jauh dari pesantren, anak bungsu dan laki-laki satu-satunya (27 tahun) belum pernah berpacaran.
” Ayo” ajak Sila dan Nailah mengangguk.
Nailah dan Sila melangkah masuk memasuki masjid. Dan berkumpul dengan jamaah wanita yang lain.
” Nailah, ini Nailah?” tanya seorang wanita tua dan Nailah mengangguk.
” Iya Bu saya Nailah" jawabnya.
” Berubah ya sekarang, cantik banget kamu rajin lagi”
Nailah hanya tersenyum tersipu malu mendengar pujian wanita itu.
” Rahman juga ada disini, itu Rahman” tunjuk nya dan Nailah terdiam, wajahnya merah karena Rahman adalah mantan kekasihnya dulu saat sekolah. Rahman yang juga melihat ibunya mengobrol dengan Nailah terlihat salah tingkah. Karena dia tahu betul ibunya seperti apa.
” Kamu sama Rahman cocok Nailah, bagaimana kalau kalian berdua berkenalan supaya lebih dekat” imbuh ibu Rahman yang tidak tahu jika anaknya pernah berpacaran dengan Nailah. Nailah diam, mengangguk tidak mungkin tapi menggeleng kepala juga dia bingung.
”Rahman seumuran kan sama kamu, dia satu kelas sama kamu dulu kalian pernah kerja kelompok di rumah” tutur ibu Rahman lagi, sila yang mendengar hanya cengengesan dan Nailah melotot.
Iya ibu, iya. Saya ini sebenarnya mantan anak ibu. Gumam Nailah.
”Rahman juga lagi cari calon istri" begitu jujur si ibu berbicara, sekaligus memberi kode jika dia setuju jika istri anaknya nanti adalah Nailah.
”Hehe” Nailah nyengir kuda.
”Nailah juga lagi cari calon suami Bu" jeda Sila dan Nailah menyikut lengannya.” Iya Bu bener” katanya lagi.
”Sila" Nailah berbisik, menegur.
Ibunya Rahman terlihat senang, dia terus tersenyum dengan gigi yang ompong di bagian depan itu, dia usap punggung tangan Nailah. Apakah ini sudah saatnya Rahman anaknya menikah? Tidak apa-apa jika dengan Nailah. Nailah baik, cantik apalagi penampilannya kini sudah berubah.
” Saya ke toilet dulu, punten” imbuh Nailah dan dia bangkit dengan cepat lalu bergegas pergi meninggalkan ibunya Rahman yang berharap banyak padanya.
”Beneran Nailah lagi cari calon suami?” tanya ibunya Rahman kepada Sila.
”Iya bu” singkat Sila, jawaban singkat terdengar biasa namun untuk ibunya Rahman itu benar-benar kabar baik.
Tidak lama, acara pun di mulai. Nailah juga sudah kembali dan duduk dengan tenang, acara di buka oleh ustadz Zaid. Ustadz Zaid baru pertama kali mengikuti acara manaqib yang baru di mulai sekitar 5 bulan yang lalu itu, ustadz Zaid baru pulang dari Tarim Hadramaut Yaman, untuk menghadiri sebuah acara majelis singkat di sana. Ilmu, teman dan bertemu dengan para ulama besar di sana adalah sebuah hal yang luar biasa untuk ustadz Zaid. Nailah terpaku melihat dan mendengar wajah dan suara yang indah itu, Zaid terkejut saat tatapannya dan tatapan Nailah bertemu begitu juga dengan Nailah yang tidak percaya bisa saling menatap dengan seorang ustadz muda idaman itu. Para santriwati juga terlihat sangat antusias melihat ustadz Zaid yang memang sangat tampan itu, tinggi, berkulit putih, rambutnya gondrong sebahu, alisnya hitam pekat, senyumannya manis dengan gigi gingsul nya. Nailah tertunduk dalam, dia takut dosa jika melihat ustadz Zaid lagi, setelah Ustadz Zaid selesai para ustadz senior yang melanjutkan ke acara selanjutnya.
” Ustadz Zaid kenapa?" tanya suaminya Sila, Ilham.
” Tidak apa-apa kang” jawab ustadz Zaid tapi Ilham jelas melihat tatapan ustadz Zaid tadi.
Pukul 12 malam acara selesai, semuanya bubar termasuk Nailah. Nailah diam dan tidak banyak bicara karena sila dan anaknya naik motor bersama Ilham sehingga dia di mobil bak terbuka tidak memiliki teman untuk berbicara.
*****
Sunyi sepi.Hari ini, Nailah ditugaskan oleh ibunya untuk mengantarkan makan siang kepada ayahnya di sawah, Nailah sepanjang perjalanan menuju sawah ayahnya memperhatikan anak-anak yang sedang mencari ikan di sungai, ada juga yang sedang bermain layang-layang. Udara pagi ini begitu sejuk, sedikit mendung.
”Bapak ayo makan dulu!” teriak Nailah.
”Iya neng” sahut bapak.
Bapak Jamal bergegas menghentikan pekerjaannya, lalu melangkah mendekati putrinya itu. Nailah mempersiapkan makanan dengan membuka rantang satu-persatu lalu menyiapkan air minum untuk bapaknya.
” Kamu makan belum neng?” tanya bapak.
” Belum, mau makan sama bapak disini” Nailah tersenyum lebar dan pak Jamal tersenyum.
Pak Jamal memperhatikan anak pertamanya itu yang semakin terlihat berubah, tutur katanya begitu sopan dan lemah lembut berbeda dengan dulu. Orang tua mana yang tidak senang, Nailah memang lebih dekat dengan bapaknya ketimbang dengan ibunya Romlah. Keduanya menikmati makan siang bersama di sela obrolan-obrolan kecil dan gelak tawa, anaknya yang paling perhatian adalah Nailah. Pak Jamal bahagia melihat Nailah berubah menjadi lebih baik dan terus belajar. Wajah polos anaknya yang berbeda dengan dulu yang selalu bermake up tebal kini terlihat polos dan teduh di pandang.
”Neng, kata Bu Jamilah tadi bilang sama bapak kamu mau gak jadi guru TK?” tanya pak Jamal. Nailah terdiam sejenak.
”Bukannya guru TK udah ada ya pak?”
”Guru TK yang kemarin pindah keluar kota ikut suaminya, kalau kamu mau kamu bisa melamar.”
” Memang Nailah pantas jadi guru TK?” Nailah tersenyum.
” Kata Bu Jamilah kamu masuk kriteria, tergantung kamu mau atau tidak nya”
Nailah tersenyum lagi. Belum menjawab iya atau tidak, akan dia pikirkan lagi nanti. Tapi yang jelas dia memang membutuhkan pekerjaan.
*******Assalamu'alaikum.
Udah lama nggak saling sapa, Umis udah gak lengkap ya untuk di apk ini. Kalian bisa akses versi lengkapnya di aplikasi KBM app.
Follow Ig: Melanuri.31
Untuk tanya-tanya yang lainnya.Wassalamu'alaikum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz muda itu suamiku (End)
KurzgeschichtenPINDAH KE KBM APP🍀🍀 Hijrahnya seorang wanita bernama Nailah Nur Fitri (22 tahun) di mulai saat dia mengalami kecelakaan, dia merasa teguran dari Allah datang padanya, untuk menyadarkannya jika dia sudah melampaui batas. Hijrahnya di mulai dari dia...