Chapter 1

40 28 38
                                    

Aku tidak pernah mengasiani orang lain selain diriku sendiri, karena rasa sakit ku sudah cukup menyedihkan. Aku akan mati dalam kesendirian, kesepian dalam kegelapan sampai akhirnya tenggelam dalam kehancuran.
Aku sekarat.

____________________________________________

Mataku hampir terpejam yang kulihat hanya langit-langit putih, aku familiar dengan tempat ini. Tubuhku rasanya tak bisa bergerak diam kaku di atas brankar yang didorong cepat, aku merasa sesak. Apakah ini sudah berakhir.

Sayup-sayup aku mendengar suara mama, mama menagis. Aku menegok ke arah samping kiri, mama benar-benar menangis. Aku sudah tidak sanggup, aku ingin istirahat sejenak. Perlahan aku menutup mataku, meluapkan sejenak rasa sakitku.

'Tuhan jika kau bisa dengar aku, maukah kau benar benar mengakhiri ini. Aku benar-benar lelah menjadi luka orang disekitarku, mama bilang engkau menyayangi orang yang kuat bertahan dalam cobaan mu. Kalau begitu jangan sayangi aku, aku sudah lelah aku menyerah'

Aku menutup mataku perlahan kesadaranku mulai hilang.

____________________________________________


Aku perlahan membuka mataku, pandangan ku kabur. Aku berusaha mengedarkan pandanganku, tidak ada siapa-siapa hanya sunyi. Ternyata aku hidup, aku kembali dipermainkan ternyata.

'Haus' aku membatin sambil memandang sekitar.

Aku melepas alat bantu pernapasan , menuruni brankar perlahan ku raih tiang infusku. Saat berjalan beberapa langkah kepalaku terasa pusing, aku memejamkan mataku berharap pusing dikepalaku hilang. Tanganku meremas kuat tiang infus yang aku pegang perlahan aku mulai mendapatkan kembali keseimbanganku, aku berjalan meninggalkan ruangan.

Aku lelah berjalan menyusuri lorong rumah sakit, aku memutuskan beristirahat di kursi taman memandang orang lalu lalang. Aku terpaku pada sosok anak kecil mungkin usianya sekitar 9 atau 10 tahun entahalah siapa yang tau, dia duduk diatas kursi roda sambil tersenyum memakan permen loli ditangannya. Tanpa sadar air mataku luruh, betapa ringan senyum yang bibirnya angkat. Dia terlihat kuat tapi aku tau betapa rapuh tubuh kecil itu, rambut yang habis rontok dengan wajah pucat pasi. Dia sama seperti ku kami sama-sama sekarat yang membedakan hanya ia berharap hidup dan aku ingin membuang hidupku.

Ku seka air mata ku, disini aku tidak perlu khawatir betapa tidak adilnya hidup. Disini begitu banyak orang sepertiku, menunggu kesembuhan tapi lelah dengan harapan.

"Boleh saya duduk disini?"

Aku menoleh, tepat di depanku berdiri lelaki jangkung berwajah oriental menggunakan hoodie abu-abu.

Aku mengangguk, sembari menggeser duduk ku.

"Hahhhhhh"

Aku menoleh saat lelaki disebelahku ini menghembuskan napas panjang, matanya terpejam sambil mendongak.
'Sepertinya dia juga sedang membawa beban dihatinya' aku membatin.

"Eh maaf ganggu ya?". Ia menoleh sambil tersenyum.

Aku menggeleng, dia tersenyum tapi rasanya hambar.

"Kamu bisu?". Ia kembali bertanya sambil menggerakkan tangannya ke arah mulutnya.

Aku menoleh sambil berkedip beberapa kali.

"Maaf lagi ya, soalnya kamu ditanya cuma ngangguk sama gelengin kepala". Ia menjelas kan dengan merasa bersalah.

Aku menoleh memandang ke arah depan.
"Aku bisa ngomong cuma bibir aku agak kaku."

"Ohhhhh, eh kenalin nama saya Bram. Bramastha Bernard." Ia menatapku dengan tersenyum, konyol sekali tetlihat seperti orang bodoh.

"Kenapa?"

DETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang