chapter 2

31 23 20
                                    

Bagaimana aku bisa memulai, aku bahkan tidak yakin semua belum terlambat. Sedangkan saat aku mulai terbuka begitu banyak orang yang terluka, setalah itu mereka berangsur menghilang.

                                                                                                

Sudah tiga hari berlalu, hari ini aku meminta mama untuk pulang saja kerumah. Aku mulai sesak berada di Rumah Sakit, yang aku lihat hanyalah kesengsaraan banyak orang.

Aku melangkahkan kakiku keluar ruangan, niatku hanya ingin menghirup udara segar. Lagi pula tidak ada yang bisa aku lakukan disini, semua barang-barangku sudah mama kemas dengan rapi. Mama sedang pergi menemui dokter untuk menanyai perihal kondisiku.

Aku terus berjalan ringan menyusuri koridor, hingga sampai aku ditaman. Aku mengedarkan pandanganku, ahhh aku melihat bangku itu. Kosong, aku berjalan sesekali mengamati orang-orang berbincang ringan.

Aku duduk di bangku yang biasa aku duduki, entah kenapa hawanya begitu hangat sore ini. Membawa pikiranku terus berjalan, berandai ini berandai itu.

Andai saja aku tidak sakit mungkin aku tidak akan melewatkan sweet seventeen ku, hanya karena jantungku kambuh bulan lalu.

Andai aku tidak sakit, mungkin aku bisa berada disekolah dan bercanda dengan Mira dan Sagar mendengarkan selotehan bu risma yang membosankan dan berebut jajanan dikantin. Ahhh aku sungguh merindukan kedua sahabatku, pasangan sejoli yang selalu ada saat aku membutuhkan bantuan.

Dan andai aku seperti remaja normal lainnya mungkin aku tidak akan membuat mama selalu khawatir, menghamburkan banyak uang hanya untuk pengobatanku.

Dan masih banyak andai yang lain.

Aku memang bukan manusia yang pandai bersyukur, karena aku merasa semua yang terjadi padaku tidaklah adil.

Aku ingat, dua hari yang lalu aku bertemu Bram. Sosok dengan senyum bodoh, aku jadi merasa bersalah aku rasa aku terlalu dingin. Tapi itu hal wajarkan dia orang asing.

Aku dikagetkan dengan sentuhan dibahuku, segera aku menoleh ke arah samping kanan ku. Ternyata mama. Aku menghembuskan napas lega, aku memegang dada ku masih aman.

"Mama ngagetin ya?? Maaf ya abisnya kamu dipangging gak ada respon." Mama terkekeh sembari duduk disebelahku.

"Udah ma?" Tanyaku

"Udah, kata dokter kamu harus rutin minum obat kamu, istirahat yang cukup ."

Aku hanya mengganggung.

"Ya udah kalau gitu kita langsung pulang kerumah."

Aku dan mama beranjak berjalan menuju lobi.

"Tunggu disini mama ambil mobil sebentar". Mama mengusap kepalaku pelan.

Aku mengangguk.

Aku memandang disekitar lobi, aku rasa kaki ku keram. Aku memutuskan untuk duduk di kursi tunggu saja.

"Dree."

Aku menoleh celingukan mencari sumber suara, seperti familiar. Tapi aku lupa suara siapa ini.

"Hey".

Aku kembali menoleh, benar ternyata aku mengenali suara ini.

Bram...

Bram berjalan menghampiriku, mendudukan dirinya tepat disampingku.

Tidak tau malu..

"Takdirkah??". Bram bertanya tapi entah pada siapa, matanya memandang lurus kedepan.

"Kamu ingat aku pernah bilang kalau kita bertemu lagi, itu takdir". Lagi, dia tersenyum seperti orang bodoh.

"Boleh aku minta hoodieku kembali?".

Aku masih membisu, bukan karena aku sombong. Otakku masih mencerna situasi, apa yang baru saja terjadi.

"Masih sama ternyata, kamu masih menganggap aku orang asing?". Bram kembali bertanya, dia tersenyum ke arah ku.

"Tunggu dulu, yang pertama kenapa kamu bersikap seolah olah kita dekat, yang kedua berhanti tersenyum itu menyebalkan, yang ketiga aku tidak bisa memberikan hoodie kamu sekarang".

Dia terkekeh, kenapa? Apa yang lucu.

"Hei banyak yang terpesona dengan senyumanku kurasa cuma kamu yang tidak suka aku tersenyum, baiklah soal hoodie aku akan memintanya saat kita bertemu yang ke tiga kalinya. Aku harap kamu tidak lagi menganggap aku orang asing".

Bram berdiri dari duduknya.

"Aku permisi." Bram kembali tersenyum dan melambai kearah ku, lalu berbalik pergi memasuki pintu RS.

Aku menghembuskan napas.

"Dree kenapa? Ada yang sakit?".

Untunglah mama datang, aku sudah tidak bisa menahan diri untuk segera pulang kerumah.

"Gak papa ma, ayok kita pulang." Aku menarik tangan mama meninggalkan lobi Rumah Sakit.

Tidak ada percakapan antara aku dan mama disepanjang perjalanan, suasana sepi membuat mataku mengantuk. Aku memejamkan mataku, seprtinya aku akan tidur.

                                                                                        

Aku merasa mobil yang aku dan mama kendarai sudah bersenti, aku membuka mataku memandang disekitar ternyata sudah gelap rasanya waktu cepat sekali berlalu.

Aku turun dari mobil, mama membawa barang-barang ku dari bagasi. Aku ingin sekali membantu tidak mungkin mama mengizinkan.

"Ayo masuk dree."

Aku mengangguk mengiyakan.

Mama berjalan mendahulaui aku, aku lega akhirnya aku bisa bernapas sepuasku dirumah.

"Ma dree naik ke atas ya, dree mau langsung istirahat".

"Iya, obat kamu jangan lupa diminum." Mama mengingatkan ku.

Aku benci mendengarnya.

"Iya ma". Aku meninggalkan mama dengan wajah lesu.

Aku menaiki tangga menuju kamarku, aku buka pintu kamarku langsung aku rebahkan rubuhku dia atas kasur. Aku merasa benar-benar nyaman, aku rindu suasana ini.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Aku hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Aku lelah, mandi bisa aku lakukan besok pagi.

Aku duduk diujung kasur diatas nakas ada nampan berisi segelas air dan obat, aku mengambil obatku.

Lagi..

Inilah yang paling aku benci, setiap kali jantungku bermasalah. Obat yang akan aku minum berbeda, aku merasa seperti kelinci percobaan.

Sudahlah, aku meminum obatku lalu menarik selimut dan tidur.

DETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang