Bab 10 ⚠️⚠️

1.4K 72 2
                                    

Mereka baru sampai di pertengahan tangga pertama sebelum akhirnya kembali menyerah pada tangan dan mulut serakah yang membuat tubuh mereka menggelinjang secara berirama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka baru sampai di pertengahan tangga pertama sebelum akhirnya kembali menyerah pada tangan dan mulut serakah yang membuat tubuh mereka menggelinjang secara berirama. Kaki Nana menekan pinggul Jeno, lengan Nana melingkari leher Jeno saat Jeno melahap mulutnya dengan lapar dan membuatnya terengah-engah.

Jeno membuatnya mencapai puncak. Baru saja melepasnya beberapa menit lalu, tapi itu tidak cukup. Nana menginginkan lebih. Menginginkan semua yang ada pada dirinya. Menginginkan semuanya lagi, dan lagi—untuk memastikan ini nyata.

Dengan bertopang pada satu lengan, Jeno membuatnya gemetar dengan ereksi sekeras baja. Satu sentuhan saja, dan Jeno sudah membuatnya ketagihan, sangat membutuhkan penawar yang hanya bisa diberikan oleh Jeno.

“Kemeja,” desak Nana, sangat ingin merasakan tubuh telanjang Jeno dengan jemarinya.

Jeno sedikit mundur, menarik kemejanya melewati bahu dan melepasnya dari atas kepala. Getaran menyentak Nana saat tubuh berotot terpampang jelas di hadapannya dan tubuh telanjang yang terpahat kukuh sekali lagi berada di dekatnya.

Hanya Tuhan yang tahu berapa lama Nana bisa menikmati ini. Satu jam. Paling lama satu malam. Karena tidak ingin menyia-nyiakannya waktu sedetik pun, Nana membungkuk ke arah Jeno, membiarkan lidahnya menjelajahi dan menggigit lekuk-lekuk otot itu.

Jeno menghela napas dengan mendesis, “Nana, aku ingin memasuki tubuhmu.”

Jeno melepas baju Nana, dan segera melucuti celana Nana, dengan tangan yang sangat tidak sabar menunggu Nana melakukan itu sendiri. Nana pun telanjang, hanya mengenakan sandal lembut bermanik-manik dengan hak tinggi dan jemari kaki terbuka.

“Di atas. Tempat tidur.” Jeno menarik Nana ke dadanya yang telanjang, berdiri, lalu menaiki anak tangga dua-dua hingga mereka sampai ke lantai tiga. Jeno mengitari sudut rumah, menggendong Nana melewati pintu lalu menggapai sakelar di dinding, membuat mereka terperangkap dalam kegelapan.

Nana melepas kaitan kedua kakinya yang melingkari pinggul Jeno, lalu merosot turun dan berdiri di hadapan Jeno.

“Aku tidak ingin pelan, Jeno.” Ia bergegas mengulurkan tangan menggapai dada yang bidang, menyentuh otot-otot di baliknya. Kemudian bergeser turun hingga menyelinap ke balik ritsleting celana. Menyentuh kejantanan Jeno yang mengeras, ia pun menggenggamnya.

“Nana.” Nama itu disebut dalam geraman berat, bergulir seolah memberi peringatan. Peringatan yang tak sanggup Nana indahkan.

“Dan aku tidak ingin lembut.”

Jeno sudah tahu. Nana bisa melihat itu di mata Jeno, dan merasakan itu di genggaman erat Jeno di pinggul Nana. Dan merasakan itu pada tarikan napas Jeno pada saat ini.

Jeno menyingkirkan tangan Nana, lalu melepas celananya dan menarik Nana dengan kuat ke arahnya. Menggendong Nana melintasi kamar.

Kemudian Jeno menindihnya di kasur dan bergerak turun. Membuka paha Nana dengan lutut dan menatapnya saat pandangan mereka bertemu. “Apa yang kau inginkan, Nana?”

the S before EX [NOMIN] [GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang