Bab 13

295 42 0
                                    

Dalam perang malawan godaan, Jeno kalah bertempur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam perang malawan godaan, Jeno kalah bertempur. Mereka kembali melakukannya, terkubur dalam proses penilaian properti, laporan pendapatan, dan proposal pembangunan, selama satu jam, dan secara hukum, Jeno harus menjelaskan tiga kali apa yang ia miliki. Sebaliknya, tatapan Nana malah berkeliaran ke markas perceraian lagi dan lagi. Dan meskipun Jeno berusaha untuk kembali fokus, otaknya tidak mau bekerja sama.

Nana mengenakan atasan tipis tanpa lengan. Bahan sutra halus sewarna karang yang terlihat manis sekaligus menggoda. Syal senada tergantung longgar dan rendah di lehernya. Konyol, syal dengan blus tanpa lengan adalah hal konyol di dunia. Dan kenapa hal itu mengusiknya, Jeno sendiri tidak tahu kecuali mungkin ia hanya bisa memikirkan satu alasan bahwa syal seperti itu ada gunanya, dan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan aksen modis.

Nana merentangkan kedua lengan di atas kepala dan menautkan jemarinya dengan cara yang bisa membangkitkan bayangan mesum dalam pikiran Jeno. Kemudian, sembari berdiri dari tempat duduknya, Nana membawa gelas kosong ke bar kecil. Celana berpotongan pinggang tinggi dan bertali putih menggantung di pinggul Nana, dan telapak tangan Jeno terasa gatal ingin meremas pantat bulat yang menggoda itu. Nana telah berada di sini selama dua hari. Gairah gila ini seharusnya telah memudar. Sial, Jeno berharap seharusnya rasa itu telah memudar di malam pertama ia bercinta dengan Nana di atas tempat tidur—atau setidaknya berubah dingin agar di pagi harinya konsentrasinya tidak terganggu oleh tubuh Nana yang bisa dengan cepat ia dapatkan. Mengalihkan perhatian Nana dan memosisikan kaki Nana untuk melingkari tubuhnya, dan mulut mahir Nana mengecupnya di semua tempat.

“Kita harus mengerjakan urusan ini sesekali,” kata Nana, sikunya bertumpu pada bar di belakangnya, sembari mengisi kembali gelas di tangannya. Sikapnya santai, tapi tatapan matanya tajam. Penuh perhatian. Nana tahu persis ke mana arah pikiran Jeno. Keahlian yang tidak dimiliki oleh banyak orang.

“Kita sedang mengerjakannya sekarang.”

“Benarkah? Pikiranmu sepertinya… teralihkan.”

Ketegangan menyelinap perlahan melewati bahu Jeno, mencekik lehernya dengan erat. Pikirannya tidak pernah teralihkan oleh semua teman kencannya. Jeno tidak pernah mengabaikan bisnisnya demi menghabiskan waktu bersama mereka. Ia tidak perlu bersusah payah membuat mereka telanjang dan memeluk dirinya. Ia tidak pernah merasa terganggu seperti ini dan ini tidak masuk akal.

Namun begitulah kenyataannya.

Karena ia pernah seperti ini sebelumnya.

Pada awalnya, memang seperti inilah saat bersama Nana. Jeno makan, minum, tidur, dan meniduri Nana setiap saat. Pada awalnya.

Lalu kemudian—sial. Kemudian, ia tidak sabar untuk pergi.

Pikiran itulah yang membuatnya tidak mengacuhkan gejolak ketertarikan di mata biru Nana dan berusaha untuk fokus mengerjakan berkas di tangannya. “Selanjutnya properti di Austin.”

the S before EX [NOMIN] [GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang