"Mas, kenapa kamu ninggalin aku gitu aja?"
Adrian mengehentikan kegiatannya menumis bumbu. Ia menghela nafas berat. Disingkirkannya centong sayur dari hadapannya, menolak diwawancara.
"Nanti ada saatnya kita bicara, sekarang aku lagi masak, jangan diganggu dulu."
Alana mencebik kesal seraya berjalan ke arah meja makan.
***
Setelah satu jam menunggu, akhirnya masakan Adrian selesai juga. Mata Alana langsung berbinar melihatnya, dari tampilannya sepertinya rasanya meyakinkan.
"Spaghetti carbonara, Salmon steak. Silakan." Adrian meletakkan dua buah piring ke hadapan Alana.
"Kayaknya enak. Kamu udah jago masak, Mas." puji Alana tulus.
"Kan udah dibilang." Adrian tersenyum sambil menyombongkan diri. Alana segera mencoba spaghetti buatan Adrian. Memang enak.
"Minumnya?"
"Ada apa aja?"
"Espresso, mojito, moctail ...."
"Es teh manis aja."
Adrian berdecak mendengar permintaan Alana. Ia tampak meracik sebuah minuman, gayanya sudah seperti bartender sungguhan. Ia tak mau menuruti pesanan Alana.
"Blue mojito." Adrian meletakkan sebuah gelas berisi minuman berwarna biru di hadapan Alana.
"Peps* blue?"
"Bukan. Mojito, mo-ji-to." Adrian meralat ucpaan Alana dengan kesal.
"Whatever."
***
Setelah makan, Alana membantu Adrian mencuci piring. Yah, lebih tepatnya menjadi mandor saja.
"Mas, kamu kok nggak jawab pertanyaan aku?" desak Alana.
"Apa akan berpengaruh pada hubungan kita?" Adrian menjawab sambil terus sibuk membilas piring.
"Mungkin."
"Bukanya udah aku jelasin di surat itu?"
"Aku mau denger dari kamu langsung." Alana merasa tak terima Adrian memutuskannya begitu saja melalui surat.
Setelah mencuci piring, Adrian mengajak Alana duduk-duduk di balkon sambil melihat pemandangan gedung pencakar langit di depannya. Gedung-gedung itu tampak sangat indah dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip, seperti kunang-kunang waktu di gunung waktu itu.
"Oke, Alana. Aku mau tanya, apa perasaan kamu saat lihat aku tadi pagi?" Adrian bertanya sambil menatap ke arah depan, tak melihat ke arah Alana.
Alana heran mendengar pertanyaan Adrian. Bukannya menjawab, pria itu malah memberinya pertanyaan.
"Sedih, aku nggak nyangka kamu udah nemuin pengganti aku." Alana menjawab dengan jujur, walau dengan nada kesal.
"Kamu ngira dia pacar baru aku 'kan?"
"Iya, emang beneran pacar kamu 'kan?" Alana balik bertanya, ingin memastikan.
"Bukan, dia cuma rekan kerja aku."
"Jadi ...." Ada perasaan lega dalam hati Alana saat mendengar jawaban Adrian. Ia diam-diam memalingkan wajah dari Adrian, untuk menyembunyikan senyumnya.
"Jadi kamu bisa bayangkan, gimana perasaan aku, lihat kamu sama Edgar ...."
"Tapi waktu itu kamu bilang akan mencoba memahami, Mas." Potong Alana. Ia ingat betul Adrian pernah berjanji seperti itu saat mereka balikan.
Adrian kesal karena Alana seenaknya saja memotong ucapannya. Perempuan memang selalu benar. Dia bisa cemburu seenaknya, sedang pria tak boleh cemburu.
"Aku udah coba ... Tapi, aku nggak bisa. Itulah sebabnya aku pergi. Aku nggak mau kamu memilih antara dia dan aku. Aku nggak mau mempersulit kamu. Dan lagi, aku nggak mau hatiku terluka, saat kamu nggak memilih aku. Aku tau kamu berat untuk pergi mengikuti aku ke sini, jadi ... Aku memutuskan pergi sendiri. Lalu, kenapa sekarang kamu nyusulin aku?"
"Kamu jahat, Mas. Kamu pergi gitu aja ...."
"Aku ninggalin surat, Alana."
"Tetep aja. Kamu tau aku nangisin kamu kayak apa? Aku sampai sakit, Mas."
"Ya, aku tau." Adrian diam-diam masih mengintip postingan Alana di medsos menggunakan akun abal-abal. Ia tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Kamu nggak khawatir sama sekali?" Alana kesal karena Adrian seolah tak memperdulikannya sama sekali.
"Toh ada Edgar di samping kamu. Bener 'kan? Kamu lebih butuh dia, daripada aku."
"Jadi beneran, kamu mutusin ngelupain hubungan kita, Mas?"
"Ini yang terbaik bagi kita." Adrian berkata pelan. Ia sudah bulat dengan keputusannya.
Merasa tak ada harapan lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Adrian, Alana segera bangkit dari duduknya. Ia berniat undur diri.
Ia sangat marah dan merasa dipermainkan. Sudah diberi harapan, sekarang malah dicampakkan. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang wanita sudah diinjak-injak.
"Oke, sekarang nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Besok aku akan kembali ke Indonesia. Terimakasih atas waktunya."
Alana segera mengambil tasnya di sofa dan berjalan ke arah pintu. Adrian dengan panik mengikutinya.
"Mau ke mana?" Adrian menahan tangan Alana.
"Kamu berniat lupain aku 'kan? Oke, aku akan menghilang dari kehidupan kamu. Sekarang biarin aku pergi." Alana berusaha melepaskan tangan Adrian, gagal. Pria itu malah mempererat pegangannya.
"Aku antar." Adrian merasa khawatir membiarkan Alana pergi seorang diri, apalagi dalam keadaan marah. Alana belum hafal seluk beluk kota ini.
"Nggak perlu, kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu nggak ada kewajiban buat jagain aku. Aku ...." Alana tak dapat membendung air matanya, sesakit ini dicampakkan seseorang yang sama untuk kedua kali. Ia menangis terisak-isak.
"Maaf."
Hanya itu yang bisa diucapkan Adrian, ia tak tau harus berbuat apa. Ingin dia meminjamkan bahunya untuk Alana. Tapi sekarang serba tak mungkin, ia sudah memutuskan sesuatu yang menurutnya terbaik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.