"Kamu jahat. Kamu mantan aku yang paling jahat. Aku benci kamu, Mas. Setelah kamu ngasih aku makanan enak, kamu nyakitin aku kayak gini."
"Alana, dengar! Apa kita punya pilihan? Kamu berat jauhin dia, aku sakit lihat kalian bersama. Apalagi solusinya selain berpisah?"
"Kalau aku ngejauhin Edgar, apa kamu bakal kembali?"
"Kamu nggak akan bisa." Adrian meragukan perkataan Alana.
"Kalau aku bisa?" Tantang Alana. Adrian memutuskan tak menanggapinya.
"Udah malam, aku antar kamu pulang." Adrian menggandeng tangan Alana menuju ke arah pintu. Alana merasa tak puas karena Adrian belum menjawab pertanyaannya.
"Aku nggak mau pulang." Alana menghempaskan tangan Adrian kasar, hingga pegangannya terlepas.
"Alana ...."
"Aku bilang, aku nggak mau pulang." Alana malah duduk di sofa. Ia bertekad tak akan pulang sebelum Adrian memberi jawaban untuknya.
Adrian merasa lelah dengan sikap Alana yang kekanakan. Ia menghela nafas berat seraya duduk di samping Alana.
"Sekarang mau kamu apa? Kamu pikir di sini kamu saja yang menderita? Aku juga. Aku harus rela melihat orang yang aku cintai bersama cowok lain, di mana cowok itu mempunyai perasaan yang tersembunyi. Aku juga sakit, melihat pacar aku lebih mengandalkan cowok lain daripada aku." Adrian mulai mencurahkan semua keluh kesahnya.
"Kamu salah paham, Mas."
"Kamu yang buta, Alana. Edgar itu mencintai kamu." Adrian memutuskan untuk tak lagi bersikap lunak pada Alana. Biarlah Alana menganggapnya egois, posesif atau sebagainya, ia tak peduli. Kali ini Alana harus tau perasaannya, ia tak mau lagi merasakan sakit hati.
"Aku dan Edgar itu sahabat dari TK. Waktu kecil dia sering dibully, dia cuma punya aku. Dia anak broken home, dia udah nganggap keluarga aku keluarga dia juga. Aku nggak bisa gitu aja jauhin dia. Dia udah jadi bagian dari keluarga aku. Bunda pasti merasa kehilangan juga kalau aku jauhin dia ... Aku ...."
"Aku ngerti. Makanya aku pergi. Kamu nggak bisa milih, lagipula aku nggak mau dipilih. Aku laki-laki, aku bukan pilihan. Kamu nggak usah bingung milih siapa. Aku yang mundur."
"Mas, apa nggak ada win-win solution buat kita?"
"Kita udah pernah nyoba, kamu lupa?"
"Aku beneran nggak ada apa-apa sama dia, Mas. Kita 'tuh murni temenan aja."
"Itu 'kan kalau kamu. Kalau dia?"
"Ya pasti gitulah."
"Kamu lupa, aku ini juga laki-laki. Aku ngerti lah, cara dia mandang kamu, ngomong sama kamu ...."
"Tapi ...."
"Jangan potong! Keputusan aku udah final, kita putus baik-baik."
"Aku udah kayak nggak punya harga diri, ya? Ngejar laki-laki sampai ke sini, minta balikan." Alana kembali menangis terisak-isak.
"Alana ...."
"Maaf kalau aku ganggu, aku jamin mulai sekarang aku nggak akan muncul di depan kamu lagi. Selamat tinggal, semoga hidup kamu bahagia." Alana mengusap air matanya kasar dan segera bergegas pergi.
"Alana, tunggu!"
Adrian mencoba mengejar Alana, tapi sayangnya Alana segera mendapatkan sebuah taksi dan bergegas masuk ke dalamnya.
"Alana!"
"Sial!"
Di dalam taksi Alana menangis sejadi-jadinya. Ia menyesali keputusannya mengikuti Adrian hingga kemari. Ternyata ia sudah tidak ada artinya lagi bagi Adrian. Saat ini ia hanya ingin segera pulang dan menemui Edgar.
Ia ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada Edgar. Adrian benar, ia sangat membutuhkan Edgar. Tanpa ia sadari, ia telah bergantung pada Edgar.
"Edgar, hati gue sakit banget."
Sopir taksi berkali-kali melirik Alana yang menangis sambil memegangi dadanya. Gadis itu baru sadar, ternyata sakit sekali rasanya dicampakkan dan diabaikan. Ia bertekad dalam hati, mulai sekarang ia takkan pernah lemah oleh cinta seorang lelaki.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.