20 : Deal

451 119 36
                                    


Jeongguk

Pemandangan siluet kehitaman yang berkumpul di hadapan, sudah ia hitung. Lengkap tujuh. Berbagi rata satu sukma orang yang jadi jatah mereka buat makan. Agak ngeri, kalau dilihat karena sukma bentuknya hampir menyerupai manusia aslinya. Persis seperti qorin. Sudah lama Jeongguk tidak melihat bayangan orang dicabik-cabik. Dipotong jadi beberapa bagian dan dibagi-bagi kemudian dilahap.

"Aku wes ngerti lek awakmu kabeh sing marani Jimin, kan? (Aku sudah tahu kalau kalian semua yang menemui Jimin, kan?)?" tanyanya mengudara, "masio durung kabeh sing metu (Walaupun tidak semua yang keluar)."

Sorot dingin diterimanya bertubi-tubi. Dari yang paling kiri. Yang sudah selesai makan duluan. "Nyuwun pangapunten (Minta maaf), Den Bagus. Kula namung nyobi ngrencangi (Saya hanya mencoba membantu (Jawa krama))."

"Gak papa. Aku gak nyalahno awakmu, ker (berasal dari kata 'rek' yang berarti 'arek-arek/teman-teman'. Orang Malang suka membolak-balik huruf untuk satu kata atau beberapa). Santai ae (Tidak apa-apa. Aku tidak menyalahkan kalian. Santai saja)." Jeongguk menghela napas. Mungkin justru ia yang kelihatan tidak santai, sekarang. Semata-mata cuma diam dan melihat-lihat sekitaran yang padang rembulan. Kuburan Samaan masih ramai penjual meski sudah masuk tengah malam. Jeongguk harus lebih ekstra hati-hati biar tidak ketahuan seperti maling tanah pemakaman.

"Badhe tanglet (Mau bertanya (Jawa krama)), Raden Bagus." Salah satu nya angkat suara. Mewujud sosok yang sama persis dengan tuannya. Jeongguk jadi seperti bercermin tapi dengan bayangan berbeda. Pakai kaos oblong hitam polos dan berambut hitam tergerai. Berbeda dengan Jeongguk sekarang yang berkemeja cokelat dengan surai yang seluruhnya diikat.

"Takono (Tanya saja)."

"Punapa tujuan panjenengan ngasta Jimin wonten kasus menika (Apa tujuan kamu membawa Jimin di kasus ini (Jawa krama))?" Pertanyaan berat yang sangat enggan Jeongguk dengar, apalagi jawab.

"Masio tak jelasno, gak ngaruh nang tugasmu, kan? (Walaupun aku jelaskan, tidak berpengaruh ke tugasmu, kan?)" tanya Jeongguk. Tidak peduli kalau kedengaran menantang. "Jogo-jogo ae ndek sebelah Lawang. Ojo adoh-adoh. Paling, limang dino engkas, ono opo-opo. (Jaga-jaga saja di sebelah Lawang. Jangan jauh-jauh. Mungkin lima hari lagi, ada apa-apa.)"

Sunyi lima detik jadi jawaban Jeongguk. Kali ini yang sisi paling kiri bermutasi. Menjadi sosok serupa dirinya dengan setelan kemeja putih. Kacamata bertengger di atas hidungnya yang bengir. Kelihatan seperti orang yang hobi membaca. "Pangapunten, Den Bagus, amargi sampun nyuwun pirso. (Maaf, Den Bagus karena sudah bertanya (Jawa krama))," ujarnya.

Jeongguk cuma menanggapi dengan anggukan. Kadang, ada di posisinya sebagai seseorang yang ditakdirkan sebagai pemegang kursi takhta jadi beban. Alih-alih syukur yang ia panjatkan, justru doa-doa kapan bebannya diangkat. Dilempar saja ke orang lain dan membiarkan Jeongguk sendirian. Tidur nyenyak dan bicara dengan bebas. Tanpa ada bayangan-bayangan tanggung jawab besar yang menggenang di kolam pikiran. Ia ingin bebas. Selepas elang yang bisa terbang di langit, kemana saja yang ia mau. Kapan, kiranya.

...


Kawan sekamar nya masuk shift sore. Yang berarti Jeongguk bisa menitip lauk makan karena ia harus begadang sampai malam. Menunggu Jimin yang tidak membawa kunci cadangan dan menyelesaikan satu deadline yang hampir terlewatkan.

"Jim!" pekik Jeongguk tertahan, "jancok!" tambahnya waktu sekumpulan kain menerpa wajah. Sudah susah payah menghindar dari tumpukan baju yang sedang digantung kawannya akibat baru dicuci, tetap saja tertabrak karena tinggi tubuhnya yang agaknya bertambah.

BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang