21 : Satu Pion Tumbang

394 123 35
                                    


Omah Turen, Turen

2000


Jeongguk

Kalau diibaratkan bocah cilik yang punya skala kenakalan satu dari sepuluh, Jeongguk menapaki angka ke sebelas. Sebagai anak laki-laki satu-satunya yang jadi kesayangan, ia dibawa kesana-kemari. Tidak banyak bicara dan selalu mendengar apa saja yang ibu atau ayah nya bilang. Kepribadiannya yang selalu diam dan tidak mau ngomong, membuat ibunya ketar-ketir. Takut kalau anaknya lambat berbicara atau bahkan tidak bisa sama sekali.

Kendati jadi anak kesayangan dan sudah bergelar Raden Bagus, Jeongguk ditimang-timang banyak orang. Mulai dari keluarga ayahnya, sampai sang ibu. Salah satu yang jadi tempatnya bermain adalah rumah peninggalan yang punya halaman luas. Berarsitektur Eropa dan banyak tumbuhan yang menjadikan terasnya segar.

Jeongguk kecil melangkah pelan-pelan ke pelataran hutan. Ibunya sudah bilang kalau ia harus kembali sebelum mendengar suara orang mengaji dari musollah. Dan ia menurut saja. Cukup mengangguk dan Jeongguk sudah bisa jalan-jalan kemana saja dengan dirinya sendiri. Meninggalkan kedua kakak perempuan nya yang tidak mau absen dari samping sang ibu.

Dari jarak beberapa meter, ia bisa dengar suara kucing yang bersautan. Mungkin ada beberapa. Yang bisa ditangkap pandangan Jeongguk kecil adalah siluet bulu makhluk kecil itu di atas pohon. Sebelum naik, ia sempatkan untuk celingukan. Memastikan kalau tidak ada orang yang lihat.

Tapaknya mantap menjejak di setiap ranting pohon. Berat badannya tidak seberapa kalau dibanding dengan anak kucing yang meminta tolong. Sayangnya, sang kucing justru ada di ujung ranting. Berpegang teguh pada kayu yang dianggapnya bisa diandalkan kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan.

"Puss," panggil Jeongguk sambil melambai-lambai. Tangan kirinya berpegang pada batang pohon yang kokoh. Menjaga keseimbangan dirinya sendiri supaya tidak ikut panik. "Rinio (Kemarilah)," katanya lagi.

Sang kucing putih tidak bergerak. Tubuhnya yang lucu dan punya bulu keputihan mewujud pelan-pelan jadi makhluk aneh. Berbau busuk dan Jeongguk tidak suka. Meski punya bentuk yang tidak enak dilihat, Jeongguk tidak merasa terancam. Kakinya turun pelan-pelan dari pohon dan melihat ke langit. Memastikan kalau warna oranye belum berganti jadi gelap.

"Hei, mudun (turun)!" seseorang meneriakinya di tengah acara Jeongguk turun dari tiap ranting. "Cepet (cepat)!"

Jeongguk jadi kelabakan. Tidak pernah disuruh cepat-cepat oleh siapapun. Sekalinya dititah, ia jadi buru-buru dan tidak peduli dengan tapakan kakinya yang sudah tidak teratur. Di langkah kedua sebelum menyentuh tanah, tubuhnya tergelincir. Jatuh ke tanah berumput dengan posisi terlentang. Tidak ada bagian tubuh yang sakit, awalnya. Tapi kian lama, punggungnya kian nyeri. Bangkit duduk pun rasanya seperti dihantam paku berkali-kali.

"Kok, ganteng awakmu. Sopo? (Kok, ganteng kamu. Siapa?)" tanya anak laki-laki itu lagi sambil membantu Jeongguk supaya bisa berdiri. "Ojo cedek-cedek wit iku. Ono sing njogo (Jangan dekat-dekat pohon itu. Ada yang menjaga)."

"Mbak," kata Jeongguk. Telunjuknya mengarah ke bayangan perempuan yang berasal dari siluet kucing, tadi. Wujudnya berubah cantik dan tersenyum ramah. Seakan dengan tabiatnya saja sudah mampu menarik banyak orang mendekat.

"Mbak sopo (siapa)?"

"Iku (itu) mbak." Jeongguk kecil ngotot menujuk-nunjuk perempuan di dekat pohon.

Agaknya laki-laki yang menolongnya juga lihat. Ia menghalau rentangan lengan Jeongguk sambil berbisik, "Duduk mbak, iku. Wes surup. Ojo metu-metu teko omah. Engkuk lek awakmu digowo, ganok gantine. (Bukan mbak itu. Sudah surup (waktu menjelang adzan maghrib). Jangan keluar-keluar dari rumah. Nanti kalau kamu dibawa, tidak ada gantinya)"

Baskara [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang