13. Tempat Asing

30 9 0
                                    

Di suatu tempat yang asing bagi Arsya, dia berdiri tanpa petunjuk di hamparan padang yang luas. Penuh dengan ilalang setinggi dada nya selama sejauh mata memandang.

Warna oranye mendekati peach memenuhi netra nya yang masih mencerna keadaan sekitar.

Kaki gontai nya ia komando untuk sekedar memutari sejenak tempat ini, setidaknya untuk bisa mencari jalan keluar. Namun sama seperti di gedung hitam waktu itu. Sejauh apapun Arsya melangkah, ia akan terus kembali di titik yang sama.

Arsya menggaruk tengkuknya kebingungan. Hingga satu pemuda datang melewati tubuh nya begitu saja.

Hanya dari belakang nya pun Arsya sudah tau siapa pemilik punggung hebat dan terlihat kokoh itu. Arsya mempercepat langkah nya, menyusul sahabat karib yang pernah mereka ikat kan janji bersama untuk tetap berteman meski ajal tiba.

"Jaka!"

"Jaka!"

"Ka!"

Arsya melihat langkah kaki Jaka terlihat lamban dan santai. Tapi kenapa dia tidak bisa menyusulnya? Jangan kan mendahului, menyamakan tempo saja Arsya sudah tidak kuat.

Tubuh nya lemah secara tiba-tiba. Arsya benci latihan fisik.

"Arsya."

Suara pelan menyambangi telinga Arya, pemuda yang menumpukan bobot nya di lutut itu tersentak lalu menghadap ke belakang.

Itu Mahen.

"Kenapa lagi?" Ketus Arsya dengan berdacak pinggang.

Mahen menunduk. Hal yang sangat tidak biasa bagi pemuda paling sombong di sekolah nya. Mahen tidak pernah menunduk, apalagi minta maaf. Menurut nya itu hal yang paling memalukan daripada harus di hukum membersihkan toilet sekolah.

Ego dan gengsi Mahen, melebihi puncak gunung Everest.

"Maaf."

Arsya mengangkat kedua alis nya terkejut.

"Hah kenapa? Coba ngomong lagi." Tantang Arsya yang malah semakin menaikkan dagu nya. "Seorang Mahen minta maaf? Sakit Lo?"

"Gue cuma minta maaf sama dua orang, pertama mama, yang kedua Lo. Gue gak akan ngomong itu lagi."

Seketika angin berhembus kencang, membuat Arsya dan Mahen harus menyipitkan kedua matanya bahkan nyaris tertutup rapat.

Tidak berselang lama angin itu berhenti. Hati Arsya yang semula baik-baik saja terasa hampa. Dirinya kembali sendiri di padang ilalang ini karena Mahen sudah meninggalkan nya. Namun sepertinya tempat yang ia pijak sudah berganti, pasal nya hanya ada warna hijau yang menyapa netra.

Di depan sana ada objek lain yang bersama nya. Fyuhh, Arsya pasti merasa sedikit lega sekarang. Meski objek yang ia temui itu bukan lah manusia, melainkan pohon rindang—Trembesi.

Batang yang kokoh, daun yang hijau nan rimbun menjadi tempat perhentian sementara Arsya dari penat nya berada di negeri asing ini.

Arsya duduk termenung bersandar batang coklat yang sudah mulai menua. Manik nya fokus menatap keatas melihat hamparan biru nya angkasa dan biasan cahaya matahari yang sedikit tertutup ramai nya daun.

"Arsya."

Lagi, ada suara yang mengumandangkan nama nya. Arsya beranjak dari duduknya. Dia berputar putar di sekitar pohon itu dan menyelidiki sekitar.

Namun nihil. Tidak ada orang lain selain dirinya sendiri disini.

"Apa gue salah denger ya?" Gumam Arsya lalu kembali duduk di tempat nya tadi.

Arsya ; second lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang