6. Sixième partie

33 14 142
                                    

Bulu-bulu dari benda bernama kemoceng itu beterbangan. Menimbulkan suara bersin sebab hidung Rafella yang anti dengan hal menggelikan.

"Astaga, kemoceng tahun berapa ini? Kenapa rontok semua?" Rafella bermonolog, memandang kemoceng di tangannya yang hanya menyisakan beberapa bulu-bulu.

Tepukan tiba-tiba pada pundaknya ia rasakan. Gerakan refleksnya pun berfungsi, ia memukul orang tersebut dengan gagang kemoceng. Ternyata ... Tara.

"Kau—"

"Salahmu karena mengejutkanku," sela Rafella cepat. Sebelum kakak laki-lakinya itu memarahinya habis-habisan.

Terlihat, Tara menampakkan raut muka malas. "Dasar! Niatku ingin menjualmu ke pedagang di laut semakin besar!"

"Jangan macam-macam!" sentak Rafella dengan menodongkan ujung benda yang dipegangnya.

Tara menggeleng, tak habis pikir dengan tingkah adiknya. Ia mencekal tangan Rafella, mengajaknya untuk segera keluar dari rumah. Membersihkan halaman rumah bersama seperti biasa.

Sapu yang dipegang Rafella mulai bergerak, menyingkirkan daun-daun kering sebab musim kemarau yang baru tiba. Sedang Tara, menyiapkan air untuk menyiram halaman yang terasa panas sore ini.

Tara tiba-tiba menarik rambut Rafella dari belakang, sontak, hal tersebut membuat Rafella berteriak dan menoleh ke belakang.

Sengaja, Tara menaikkan selang yang airnya sedari tadi mengalir deras pada wajah Rafella. Alhasil, Rafella terbatuk seraya berusaha menjauh dari Tara.

"TARA SIALAN!"

Rafella berlari sejauh mungkin, dengan batuk kecil yang masih keluar dari bibirnya. Ia seperti orang gila yang berlari di pinggir jalan dengan baju yang basah kuyup.

Gadis itu berusaha menetralkan napasnya. Ia duduk di bawah pohon entah miliki siapa. "Kenapa aku ditakdirkan mempunyai saudara seperti itu? Apa tidak ada model dan bentuk yang lain?" tanya Rafella entah pada siapa.

Bulu matanya yang memuat embun-embun kecil terasa sulit untuk menatap bangunan hitam yang tak jauh darinya. Mungkinkah ia salah lihat? Ada yang melambai padanya tadi. Tepat di jendela lantai atas rumah tersebut.

Ia mengusap matanya, mencoba menitikkan fokusnya pada jendela tersebut. "Hah?"

Netra Rafella membulat, benar, ada sebuah tangan yang melambai ke arahnya, seperti mengajak dirinya masuk pada rumah itu. Masalahnya ... kenapa hanya sebuah tangan? Mana bagian tubuh yang lain?

Rafella mengalihkan pandangannya ke segala arah. Sepi. Hanya satu kata itu yang mewakili isi hati Rafella.

"Kenapa aku terjebak pada situasi ini," lirihnya.

Gadis itu perlahan berdiri dari duduknya, pandangannya terus menunduk sedari tadi. Ia tak berani menoleh ke arah mana pun, terutama jendela tadi.

"Apa lagi ini ...," rutuk Rafella pelan. Ia merasakan sebuah kaki yang menyentuh kepalanya. Siapa orang yang memanjat pohon tanpa buah ini?

Rafella mencoba mennenangkan diri, ia memejamkan mata, berbalik ke arah kanan untuk segera pulang.

"Aaa! Tolong! Jangan! Kumohon!" Rafella berteriak asal saat kepalanya terbentur sesuatu. Seperti ... dada seseorang.

Sebuah tangan memegang pundaknya, hal itu semakin membuat Rafella berteriak histeris. Hingga, sebuah kain disumpalkan pada mulutnya. Tentunya, netra cantik Rafella langsung terbuka. Badannya tak lagi memberontak.

Rafella membesarkan pupil matanya, meminta agar si pelaku melepaskan kain beraroma tidak enak di mulutnya.

"Bah!" Rafella meludah ke samping, "itu kain apa? Baunya sungguh ... ah!"

Tara tertawa. "Itu kain bekas tadi saat dirimu membersihkan kaca."

"Kenapa kau menyebalkan?! Argh!" Rafella mencoba meraup wajah Tara dengan kuku-kuku panjangnya.

"Sudahlah, sekarang—"

Rafella menggeleng cepat. "Aku ingin, kau menemaniku pergi ke sana," Rafella menunjuk rumah yang dindingnya penuh dengan abu hitam, "mau, kan?"

"Tidak! Ayo pulang!" tolak Tara setelah mendengar permintaan Rafella.

"Kumohon. Sekali saja," pinta Rafella lagi. Ia benar-benar dibuat penasaran dengan lambaian tangan tadi.

"Satu kali kubilang tidak, tetap tidak!"

"Tapi, kena—"

Tara segera menarik tangan Rafella dengan paksa. Ia tidak akan menuruti permintaan itu.

"Tara, tadi ada yang melambaikan tangan padaku. Mungkin, dia terjebak di sana dan ia membutuhkan bantuan kita." Rafella tetap mencoba membujuk Tara.

"Tidak, Rafella!" sentaknya tepat di depan wajah Rafella. Gadis di depan Tara itu tentu takut, tak lagi berani mengucapkan sepatah kata pun, selain kembali menggandeng tangan Tara untuk kembali ke rumah.

Kapan-kapan, aku harus membujuknya lagi.

To be continue ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kuntilanak HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang