3. Partie Trois

55 25 224
                                    

Bruk!

Gadis dengan rambut sebahu itu meringis pelan, saat kamus tebal jatuh tepat di atas kepalanya. Jemarinya mengusap bagian yang tadi tertimpa kamus.

"Kepalaku sedang pusing, dan kejadian barusan membuatku lebih pusing. Astaga." Gadis dengan nama Kirania itu berdecak seraya memegang kepalanya, merasa bahwa ini adalah hari sialnya.

"Ini bukan pertanda bahwa hari ini adalah hari sialmu. Tetapi memang kau yang sedari dulu ceroboh," kata pria yang tiba-tiba datang, seperti tahu apa yang dipikirkan oleh Kirania.

Pria tersebut meletakkan kamus tebal kembali pada tempatnya. Mengusap rambut Kirania dengan sayang, lalu mengajaknya duduk pada kursi yang tersedia di sana.

"Iya, iya, aku memang ceroboh. Maka dari itu kau harus banyak menjagaku." Kirania tertawa geli setelah mengatakan itu pada Tara—kakak Rafella.

Tara tidak begitu memedulikan perkataan Kirania, kekasihnya. Ia lebih memilih melanjutkan acara membacanya. Rafella dan Tara itu sama-sama kutu buku.

Tangan Kirania menarik kepala Tara agar sedikit menjauh dari bukunya. "Sudah kubilang berapa kali? Jangan terlalu dekat membacanya, Sayang."

"Ya."

Kirania menatap sekitarnya, melihat cover buku di pojok rak perpustakaan membuatnya bangkit, lalu mengambil buku itu. Ia mulai membaca isi buku di samping Tara, berisi tentang hangatnya kasih sayang seorang ibu.

Gadis itu tersenyum. "Buku ini membuatku merindukan ibu," ucap Kirania pelan. Matanya menerawang ke atas, membayangkan ibunya yang sedang berada di luar kota seminggu lalu.

Sedang Tara, wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti tadi. Arah mata yang tadinya fokus pada buku, sekarang mengarah ke depan dengan tatapan kosong. Tangannya meremas keras buku yang berada di pangkuannya.

"Aku mengatakan ini berapa kali? Jangan pernah membahas tentang seorang ibu jika kau berada di sekitarku."

Kirania mengerjap, netranya fokus pada Tara yang berada di sampingnya. Ia benar-benar melupakan hal itu. Tara terlalu sensitif jika mendengar seorang ibu.

"Aku—"

Tara menggeleng cepat, Kini ia menoleh dan berkata, "Lupakan! Sekarang kita pulang. Kau bisa meminta izin terlebih dahulu untuk membawa buku itu ke rumahmu."

"Tidak." Kirania dengan cekatan meletakkan buku itu pada tempat asalnya. Kemudian meraih tangan Tara, mengajaknya pulang sesuai keinginan pria itu.

Kendaraan beroda empat itu berjalan dengan keadaan hening juga canggung. Membuat Kirania tak nyaman, sebab biasanya Tara banyak bercerita ini dan itu padanya ketika hendak pulang.

"Kau tidak ingin menceritakan sesuatu hari ini?"

"Tidak."

Kirania membuang napas dengan pelan. "Aku ingin ke rumahmu. Boleh, kan?"

Tara menoleh setelah mendengarnya. Ada-ada saja gadis itu. "Kau tidak ingin beristirahat setelah jam kuliah memakan waktu istirahatmu?"

"Aku ingin bertemu Rafella. Ayo, kita ke rumahmu sekarang!" kata Kirania dengan semangat. Tentu hal itu tidak dapat ditolak oleh Tara.

Kirania segera berlari ke luar setelah mobil yang ditumpanginya berhasil berhenti tepat di depan rumah Tara.

"Rafella!" teriak Kirania saat menemukan gadis yang dicarinya sedang membersihkan debu pada beberapa bingkai foto. Sedang Tara lebih memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya.

"Kak Rania!" Kedua gadis itu saling berpelukan layaknya teletubbies. Menghapus rindu akibat cukup lama tak mengadakan temu.

Kirania melepas pelukannya, menatap apa yang sedang Rafella lakukan. "Boleh kubantu?" tanya Kirania menawarkan diri.

"Tentu, itu akan menyenangkan." Keduanya tertawa setelah itu, dan mulai menggerakkan kemoceng di tangannya.

Hingga terdapat foto dengan bingkai indah, yang berhasil menghentikan kegiatan Kirania. Foto itu berupa wanita tua seumuran ibunya yang tersenyum cantik. Kirania terlalu fokus pada Tara setiap memasuki rumah ini, hingga ia baru menyadari adanya foto itu.

"Rafella." Kirania memanggil Rafella Tanpa mengalihkan pandangannya. Kecantikan wanita tersebut seperti menghipnotis dirinya.

"Ada apa?"

Kirania perlahan menoleh pada Rafella. "Dia ... siapa?"

"Dia ibuku, ibu kekasihmu juga tentunya," sahut Rafella seraya tersenyum menatap foto tersebut.

Kirania terlihat terkejut dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bisa-bisanya aku baru tahu wajah ibu Tara, setelah kami berhubungan hampir tiga tahun. Kekasih apa aku ini? rutuk Kirania pada dirinya.

"Ah, dia cantik—"

"Kau tidak perlu tahu itu, Kirania." Tara tiba-tiba datang dan menyela ucapannya. Pria itu kemudian menarik Kirania untuk mengajaknya duduk di sofa saja.

Kirania masih menatap Tara dengan kening berkerut. "Kenapa? Tara, kita sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun dan kau masih tertutup padaku? Ayolah, coba ceritakan sedikit tentang keluargamu."

Tara menggeram marah. "Kau lupa lagi? Aku—"

"Iya, aku tahu itu, dan aku berhak tau alasan kau terlalu sensitif dengan hal itu, Tara. Itu tidak masuk akal."

Rafella menggeleng dari jauh. Menjalin hubungan dengan kakaknya hampir tiga tahun tak membuat Kirania begitu mengerti Tara. Jika Tara sudah terpancing emosi, Kirania bisa hancur sekarang juga.

Rafella berjalan cepat menuju keduanya. "Kak, lebih baik kau membantuku membuat kue, bukan? Ayo!" Rafella menarik Kirania cepat untuk menghindar dari Tara.

Oh, my God. Dunia percintaan terlihat begitu rumit, racau Rafella.

To be continue ....

Kuntilanak HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang