Bab I

203 22 21
                                    

"Sangat wajar bila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga. Nggak usah panik ! Karena di balik pertengkaran selalu ada jalan untuk belajar saling mengerti dan memperbaiki "

--- Wejangan Emak ---

**********

Murni terus mengayunkan pisaunya mencacah kobis, wortel, kentang yang ada di depannya, seolah sedang mencincang daging kualitas nomor 3 yang alot. Suara gesekan pisau dan talenan berpadu menciptakan nada sumbang menyebar ke seantero rumah yang memang dirancang tanpa sekat antar ruangnya. Tak berhenti di situ, sesaat kemudian terdengar dentangan panci, wajan beradu dengan gemerincing piring, gelas dari arah pencucian piring yang tentu saja menimbulkan suara gaduh. Tak seperti pagi-pagi sebelumnya, senyum yang selalu menghiasi bibir tipis perempuan hitam manis itu sirna entah sejak pertengakarannya dengan Surya semalam.

Ingin rasanya ia menyudahi aktivitas yang selama ini menjadi hobi dan hiburannya, memasak. Namun, terngiang wejangan mendiang ibunya di hari pertama ia menikah dan menyandang status sebagai Nyonya Surya, " Sak nesu-nesumu karo wong lanang, ojo sampe lali nyiapke mangan lan ngombe kanggo anak bojo, ora ilok, Nduk!" Murni menghela napas panjang dan kembali menyelesaikan masakannya. Sebenarnya hari ini tidak banyak masakan yang ia olah, hanya sayur sop, tempe dan tahu goreng. Sejak suaminya di-PHK sebulan lalu, Murni harus pandai-pandai mengatur pengeluaran rumah tangga dan mengencangkan ikat pinggang agar dapur tetap mengepul.

Dalam sebulan ini pula, tanpa sepengetahuan Surya, Murni diam-diam mulai berjualan yogurt racikannya sendiri dengan pasokan susu sapi dari salah satu kenalannya sesama wali murid di Sekolah Tiara yang kebetulan punya peternakan sapi di Bogor. Ia menitipkan produknya ke warung-warung di sekitar tempat tinggalnya. Walaupun tidak banyak, keuntungannya bisa menambah belanja sabun mandi ataupun sayur dan lauk di dapur. Surya yang sejak di-PHK selalu menyibukkan diri di depan komputer, hampir jarang sekali menginjakkan kaki lagi di dapur. Dan nyaris tidak pernah membantu pekerjaan Murni seperti dulu. Makanya, Surya nggak tahu kesibukan baru istrinya.

Tak pernah terlintas dalam bayangan Murni, kalau ia harus berada dalam situasi sekarang ini. Lima belas tahun berumah tangga, Murni hampir tidak pernah kekurangan materi dan kasih sayang. Gaji Surya sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka juga bisa menyekolahkan Tiara di SD IT yang cukup bergengsi dengan biaya yang terbilang tidak murah. Bahkan Surya bisa membeli sebuah mobil dan rumah yang mereka tempati sekarang. Rumah dua lantai yang tidak terlalu besar sudah sangat cukup untuk menampung mereka bertiga. Seperti janji Surya kepada Murni saat hendak melamarnya. "Dik, kelak jika kita menikah, InsyaAllah Mas akan membangunkanmu rumah yang bisa kita jadikan istana bagi keluarga kecil kita. Adik tidak perlu repot-repot bekerja. Tugasmu hanya satu, menjadi ratuku dan ibu dari anak-anakku." Murni selalu senyum-senyum sendiri jika mengingat gombalan suaminya itu.

Yah, Surya memang tidak berbohong. Dia menepati semua janjinya. Dia tidak mengijinkan Murni bekerja. Memenuhi segala kebutuhan Murni dan Tiara. Surya juga sosok suami yang sempurna di mata Murni. Pekerja keras dan penyayang. Walaupun Surya sangat sibuk dengan pekerjaannya, ia selalu membantu semua pekerjaan domestik yang biasa dikerjakan Murni. Dari awal pernikahan, baik Murni maupun Surya sepakat tidak mengambil asisten rumah tangga. Semua pekerjaan mereka kerjakan bersama, hanya menyetrika yang mereka laundrikan.

"Wah, Jeng Murni Enak ya, punya suami ganteng, karirnya mapan, anak yang cantik dan pinter." puji Bu Neneng tetangga kompleknya yang kebetulan berjualan warung kelontong dan aneka sayur dan lauk mentah suatu ketika.

"Ah, Bu Neneng bisa saja. Mohon doanya, ya Bu !" jawab Murni tersipu sambil terus memilih sayur.

"Eh, Jeng, Tapi ngomong-ngomong, Jeng Murni ini kan lulusan sarjana ya. Kok mau-maunya, di rumah saja itu lho. Apa ndak eman-eman ijazahnya?" Pertanyaan ini sebenarnya bukan sekali dua sekali ditanyakan oleh Bu Neneng padanya. Seperti tidak ada obrolan lain saja. Tapi, Murni tetap saja menanggapi pertanyaan itu, walaupun juga dengan jawaban yang hampir sama setiap kali pertanyaan itu dilontarkan.

Ayo dong, Mas !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang