Bab Dua

1.3K 228 38
                                    

Jangan lupa siapin tisu buat baca ini! 🤧

🌺🌺🌺

"Ibu!" Bima yang saat itu berusia delapan tahun, bergegas membuka pintu rumah setelah melihat lewat jendela, ibunya pulang. "Ibu, aku sudah masak nasi. Ibu bawa ayam goreng, gak?"


Wanita yang memakai kerudung panjang warna cokelat itu membelai rambut lebat Bima. Kemudian menyerahkan dua kantung plastik kecil yang diterima sang anak dengan semringah. "Buat Bima ...."

"Wah ...." Wajah putihnya berseri-seri setelah mengintip isi kantung plastik tersebut. Aroma ayam goreng yang masih hangat, menguar memacu kinerja lambungnya yang kosong. Sementara kantung yang lain berisi lima butir apel fuji. Jarang-jarang ia bisa makan dengan lauk ayam dan buah-buahan. Hanya terjadi di saat ibunya lembur untuk menyiapkan katring di restoran tempat bekerja.

"Ayo masuk! Cuci tangan dulu, baru makan, ya?"

Bima mengangguk patuh, lalu berlari lebih dulu ke dalam, sedangkan ibunya mengangkat jemuran di teras. Ia memindahkan nasi dari panci ke mangkuk plastik berukuran besar. Kemudian mengambil tiga piring dan menatanya bersama gelas dan sendok di atas tikar di tengah ruangan serba guna.

Rumah kontrakan yang ditempati Bima bersama ibunya hanya memiliki satu kamar, dapur, kamar mandi kecil dan sebuah ruangan yang digunakan untuk ruang tamu sekaligus ruang makan. Saat akan beranjak mencuci tangan, terdengar suara ibunya yang seperti sedang marah. Tak jadi ke kamar mandi, bocah itu melangkah ke depan, lalu mundur kembali saat ibunya tiba-tiba masuk dan berusaha menutup pintu.

"Pergi, Pak! Tolong jangan ganggu saya!"

"Ayolah, Amanda ... jangan menolakku lagi ...." Suara seorang lelaki yang tak asing terdengar di balik pintu di luar sana. Bima kecil yang melihat ibunya seperti ketakutan berusaha menutup pintu sekuat tenaga, segera membantu.

"Bima, cepat masuk kamar dan kunci pintunya!" titah Amanda dengan bibir bergetar saat bertatapan dengan mata polos putranya.

Tanpa membantah, Bima segera masuk kamar. Namun, ia tak mengunci pintu. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia melihat ibunya menangis saat pintu rumah akhirnya terbuka lebar.

Seorang laki-laki usia empat puluh lima tahun berdiri menatap Amanda dengan wajah mengerikan. Lelaki dengan rambut bagian depannya mulai memutih itu lantas menutup pintu, kemudian memojokkan Amanda di sudut dinding.

"Pak! Saya mohon. Jangan ganggu saya dan anak saya. Saya mohon ...."

"Kenapa, sih, kamu menolakku? Bahkan istriku saja sudah setuju kita menikah. Ayolah ... anakmu juga butuh seorang ayah. Menikahlah denganku dan kamu tidak perlu capek kerja. Cukup bantu memantau restoran dan melayaniku saja!"

"Saya tidak mau!" Amanda berusaha melepaskan diri, lalu menampar pipi kanan lelaki itu dengan sekuat tenaga.

"Dasar janda tidak tahu diri! Sok jual mahal!" Lelaki itu murka, kemudian menarik kasar kerudung Amanda. Meski berusaha dipertahankan, tapi kerudung panjang itu akhirnya terlepas. Mata lelaki itu berkilat penuh nafsu menatap penampilan Amanda yang semakin cantik tanpa kerudung.

"Jangan!" Amanda menghindar, terus mundur dan berusaha lari ke pintu belakang. Namun, lelaki itu dengan cepat menangkap tubuhnya dan membaringkannya di lantai. Ia menjerit sambil mencakar dan menendang dengan membabibuta, tapi lelaki itu masih punya tenaga kuat hingga mampu merobek bagian depan gamisnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Journey (Prequel Cinta Terbaik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang