10

20 1 0
                                    

Seusai makan malam di hari yang sama saat Alik mengajaknya kajian, Fathiya langsung beralih ke kamarnya. Ia berniat melanjutkan ritual libur akhir pekannya, main games dan tidur.

Sebuah kotak berisi aksesoris di atas meja rias Fathiya menggugah perasaan Fathiya untuk membukanya.

Kotak perhiasan bahan beludru warna donker menarik perhatian Fathiya. Fathiya kemudian membukanya dan mengambil cincin warna perak pemberian Alik itu.

Cincin imitasi yang Alik janjikan akan berubah jadi cincin emas asli setelah cowok itu mampu membelikannya untuk Fathiya. Tapi sayang saat itu Fathiya belum siap untuk memakainya dan memilih untuk menyimpannya saja.

Tot tok tok.

Sebuah suara di balik pintu menyadarkan Fathiya dari lamunannya. "Papa boleh masuk?"

"Masuk aja pa."

Pak Sutoyo masuk dengan wajah tersenyum membawa ketenangan saat Fathiya melihatnya.
Pak Sutoyo duduk di samping anaknya dan melihat cincin yang dipegang Fathiya.

"Papa sudah tahu masalahmu dengan Alik dari mama," ujar pak Sutoyo mengawali pembicaraan.

"Boleh papa kasih saran?"

Fathiya memgangguk. Seperti yang papanya katakan, untuk saat ini yang paling Fathiya butuhkan adalah saran dan pendapat dari kedua orangtuanya.

"Papa bukan bermaksud memihak siapapun. Fathiya dan Alik sama-sama anak papa. Bedanya Fathiya anak kandung dan Alik anak pungut." Pak Sutoyo terkekeh, "becanda sayang."

Fathiya pun ikut terkekeh.

"Fathiya tahu nggak? Keputusan melamar perempuan adalah keputusan paling berani dari seorang laki-laki. Kalau Fathiya pikir Alik belum selesai dengan dirinya sendiri, Fathiya salah besar. Dengan Alik berani mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Fathiya istri, Alik sudah yakin akan mampu bertanggungjawab sama Fathiya."

"Mungkin Alik belum mapan seperti syarat Fathiya. Tapi papa yakin Alik memiliki alasan atas keputusannya."

"Papa nggak menyalahkan Fathiya karena Fathiya menolak Alik. Itu hak Fathiya untuk memilih pendamping yang Fathiya inginkan. Saran papa Fathiya jangan membenci Alik atas perubahan Alik."

"Tapi Fathiya nggak suka Alik sok sok an hijrah pa," tukas Fathiya mengungkapkan kekesalannya.

"Fathiya nggak suka Alik di mananya nak? Alik lagi belajar agama kok kamu larang."

"Fathiya mau Alik yang dulu pa. Nggak fanatik seperti sekarang. Meskipun kami dekat dan sering pegangan tangan yang kata Alik sekarang itu dosa, toh kita juga tetep solat lima waktu. Yang dosa itu kalau Alik hamilin Fathiya padahal kita belum nikah, baru itu dosa," kekuh Fathiya.

"Hush! Kamu kalau ngomong ya!" Sergah pak Sutoyo.

"Jadi kamu maunya Alik gitu-gitu aja? Kalian main-main nggak faedah, pegangan tangan, pelukan tanpa ada batasan? Terus kalian mau sampai kapan begitu terus? Sementara kamu menolak lamaran Alik dengan alasan Alik harus jadi manusia yang lebih baik."

"Ya maksud Fathiya, Alik cukup serius untuk menyelesaikan kuliahnya, kerja, dan hidup normal seperti laki-laki dewasa kebanyakan." Sesederhana itu keinginan Fathiya atas Alik, tapi semuanya menjadi rumit sejak Alik memilih hijrah.

"Terus dengan begitu kamu mau menerima lamaran Alik?"

"Ya belum tentu juga pa," jawab Fathiya tak yakin.

"Loh gimana sih. Jadi maunya kamu apa Fath?" Ujar pak sutoyo bingung.

"Ya Fathiya juga nggak tahu pa. Fathiya cuma ngerasa Alik sakit hati karena Fathiya merendahkan Alik. Jadi lah Alik seperti sekarang."

"Hmm sakit hati ya. Bisa jadi sih."

"Tuh kan." Eluh Fathiya cemas. "Tapi emang bener ya pa kalau cowok ditolak dengan alasan belum mapan itu bisa membuat mereka sakit hati?" Tanya Fathiya polos.

"Bisa iya," jawab pak Sutoyo.

"Tuh kan," rengek Fathiya lagi.

"Bisa juga nggak," tambah pak Sutoyo.

"Ih papa yang bener yang mana."

"Gini... gini Fath. Harga diri seorang laki-laki itu tercermin dari kesuksesannya dan setiap orang memiliki definisi suksesnya masing-masing. Ada yang sudah lulus kuliah dan kerja dengan gaji UMR sudah dikatakan sukses. Ada yang bisa cari uang sendiri, bayar kuliah sendiri dia merasa sudah berhasil. Semuanya nggak melulu tentang materi sayang. Usaha yang dilakukannya untuk bertahan sampai titik sekarang juga merupakan sebuah proses menuju kesuksesan. Tapi kembali lagi pada kriteria kesuksesan Fathiya dan Alik. Fathiya pikir Alik belum mapan dan pantas untuk jadi suami karena Alik belum lulus kuliah sementara Fathiya sudah lulus 2 tahun lebih dulu dan bekerja, tapi menurut Alik sendiri dia sudah siap bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan Fathiya."

Fathiya terdiam sembari mencerna kata-kata ayahnya. Sebuah sudut pandang dari seorang laki-laki yang mungkin mencerminkan pola pikir Alik saat itu, saat cowok itu melamarnya.

"Papa pernah baca quotes yang isinya gini, balas dendam terbaik bagi orang sakit hati adalah pembuktian dengan menjadi lebih baik. Kalaupun benar Alik sakit hati dengan alasan penolakan kamu, berarti Alik bersungguh-sungguh ingin menjadikanmu istri, dan inilah versi terbaik Alik untuk menjadi orang yang diinginkan oleh calon pasangannya," ujar pak Sutoyo panjang lebar.

Perspektif pak Sutoyo membuka pikiran Fathiya bahwa tidak selayaknya Fathiya marah pada Alik yang sekarang. Alik yang sedang berusaha bertanggungjawab pada agamanya.

"Jadi Fathiya sudah nggak marah kan sama Alik?"

Fathiya memggeleng dan tersenyum bersamaaan. "Nggak pa. Fathiya nggak sepantasnya melarang Alik buat serius belajar agama. Makasih ya pa." Fathiya memeluk pak Sutoyo erat.

"Dah dah. Jangan cengeng ah. Ini cincinnya di simpen dulu!" Titah pak Sutoyo seraya menunjuk cincin yang sedari tadi Fathiya gengggam.

"Dipakenya kalau kamu sudah siap dan yakin sama Alik. Tapi jangan lupa harus Alik duluan yang lihat kesiapan Fathiya," serah pak sutoyo terkekeh.

Fathiya yang sadar kalau papanya sedang menggodanya, langsung tersipu malu.

"Ih papa tahu kata-kata itu dari mana? Perasaan Fathiya nggak cerita soal itu ke mama," selidik Fathiya.

Pak Sutoyo tidak menjwab dan malah terkekeh puas melihat anaknya penasaran.

"Paaa tahu dari mana iiih," bujuk Fathiya agar diberi tahu.

"Dari Alik wkwkwk," tutur pak Sutoyo lalu langsung kabur meninggalkan anaknya yang penasaran.

"Iiiih paaaa. Alik cerita apa aja sama papa?"

"Papa iiiiih."

Usaha Fathiya nihil karena pak Sutoyo sudah menghilang entah kemana.

KCI 2. (Bukan) Teman HidupWhere stories live. Discover now