Setelah makan malam, biasanya aku dan Edwin akan mengobrol di teras belakang rumah atau balkon di kamar sembari menatap bintang dan menikmati secangkir arabica atau sekadar duduk membicarakan hari-hari yang kami lalui.Akan tetapi, aku sekarang masih duduk di pinggir kasur, melirik ke pintu kaca yang mengarah ke balkon. Di sana kulihat Edwin sudah berdiri menunggu kedatanganku untuk melakukan ritual berbagi dan bercerita sebelum beranjak tidur. Entahlah, kali ini sedikit berbeda. Percakapan tadi siang dengan teman-teman di sekolah dan komentar-komentar yang kubaca di unggahan instagram Edwin membuatku merasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Aku mendengkus berat, lalu memilih beranjak menuju lemari kaca tempatku menyimpan boneka kesayangan.
Senyumku mengembang saat bersirobok dengan manik mata bonekaku yang besar, dihiasi bulu mata cantik, dan mulutnya seolah menebarkan senyum yang menyalurkan kebahagiaan bagi semua yang melihatnya. Buktinya, saat ini pikiranku langsung membuncah kerinduan memiliki ... oh tunggu, sejak kapan aku memikirkan seorang anak perempuan ketika bersama Sally. Sontak aku terkekeh dan meletakkan tanganku di bagian leher Sally, untuk memainkan ekspresinya. Aku yakin, kalau kamu melihat Sally, segala gundah dan gelisahmu akan lenyap. Sekali lagi kulirik pintu pembatas balkon, dia masih di sana. Sekarang aku akan mengajak Sally menemui Edwin.
Segera aku mengangkat badan Sally dan menyangganya dengan tangan kiri. Kemudian, telunjuk dan jari tengahku menggerakkan panel yang membuat alisnya bergerak, lalu aku juga menggerakkan panel bagian kelopak matanya yang membuatnya terlihat berkedip. Untuk sentuhan terakhir aku menggerakkan panel rahang bawah yang mengilusikan bonekaku ini berbicara.
Aku mulai berdeham beberapa kali untuk melonggarkan kerongkongan dan melipat pangkal lidahku untuk menciptakan suara Sally yang menurut Edwin lebih lembut dibanding suaraku. Itu katanya waktu pertama melihatku memainkan Sally di pertunjukan ventrilokuis empat tahun lalu.
Dengan membopong Sally, aku mendekati Edwin yang masih bersandar di teralis balkon menghadap taman. Mungkin sedang menghitung bintang, atau jangan-jangan dia memikirkan hal yang sama denganku. Ah, ini tugas Sally.
Aku melipat pangkal lidah, menyempitkan rongga tenggorokkan bagian atas, lalu dengan cekatan menggerakkan panel-panel di belakang leher Sally.
"Selamat malam, Bapak Edwin." Tanpa berlama-lama, suamiku menoleh dan terkekeh melihat Sally mengerling.
"Oh, hai, Sally," jawabnya membalas kedipan bonekaku.
"Boleh Sally katakan sesuatu?" Kini aku menggerakkan leher Sally sedikit miring ke kiri.
Edwin melangkah mendekati Sally, mengangguk dan mengisyaratkan kepada bonekaku untuk melanjutkan ucapannya.
Segera aku mengutak-atik panelnya dan mempertahankan bibir tidak bergerak saat mengucapkan, "Pak Edwin tahu nggak, saat ini Miss Ester lagi galau gara-gara Bapak."
Aku mengekspresikan ketidaksetujuan ke arah bonekaku dan berujar cepat, "Aku nggak galau."
Dengan lebih cepat lagi Sally menyahut ucapanku. "Aku yakin Miss lagi galau, buktinya Miss nggak berani bilang apa-apa ke Pak Edwin kalau nggak ajak aku."
Aku berpura-pura memajukan bibir dan jemariku menggerakan panel alis Sally agar alisnya seperti terangkat dan panel bagian mulut agar mulutnya terbuka.
Edwin terbahak.
"Sally, please. Aku nggak galau dan ...."
"Kalau nggak galau, berarti Miss lagi kesel."
"Nggak juga," balasku cepat.
"Iya," sahutnya lebih cepat.
Aku mendengkus dan merengut ke arah Sally. Namun, itu justru membuat perasaanku jauh lebih ringan.
YOU ARE READING
Sun in the Winter
RomanceBagi Ester, kehadiran anak akan mampu mempererat hubungan keluarga. Jadi, ia berencana mengikuti program kehamilan. Namun, Ester justru menemukan bukti bahwa Edwin, suaminya, sudah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Lantas, kenapa Edwin berce...