Please, I'm Sorry

32 2 0
                                    


"Maaf ...." Hanya kata itu yang kudengar lirih dari Edwin setelah kami sama-sama terdiam beberapa saat. Suaranya bahkan tidak bisa kudengar dengan jelas, sehingga aku harus menahan sengguk dan menelan ludah dengan susah payah menunggu kalimat selanjutnya yang ia ucapkan pelan, tetapi tegas dalam satu tarikan napas.

"Aku takut kamu akan menolak lamaranku kalau kamu tahu aku sudah pernah menikah."

Spontan aku menoleh dan menajamkan pandanganku ke arah Edwin yang juga menatapku dengan mata berkaca-kaca. Tangan kanannya mencengkeram lenganku, lumayan erat, tetapi tidak menyakitkan. Dari sorot matanya, aku merasa tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Namun, ada satu hal lain yang tidak bisa aku terka karena belum pernah aku melihat muka Edwin memerah dengan pandangan sayu seperti saat ini.

"Tolong maafkan aku," lirihnya sambil merengkuh tubuhku yang tetap bergeming.

Jantungku berdebar keras setiap kali mencoba bersuara. Satu kata ingin sekali meluncur dengan keras agar hatiku lebih tenang. "Jahat!!" Tapi hanya terdengar lirih keluar dari bibirku, seiring tangis. Lain hal dengan pikiranku yang justru menuntut hal lain, mencari tahu tentang Sunny dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Di mana dia sekarang?" Aku menyusut air mata dan menatap Edwin dengan pasti, tetapi dia hanya menggeleng sebagai jawaban.

Dahiku berkerut seketika dan menegaskan berulang kali kalau aku tidak memercayainya.

"Mana mungkin seorang ayah sama sekali nggak tahu keberadaan anaknya?"

"Aku sama sekali nggak tahu di mana Sunny sekarang, Yank," jawab Edwin lagi sambil menangkup kedua tanganku di depan dadanya.

"Mantan istrimu?"

Edwin menggeleng lagi dengan cepat sebagai jawaban.

"Nggak sekarang." Itu saja, lanjutnya, kemudian Edwin menatapku sejenak, lalu beranjak keluar kamar.

Aku menoleh setelah mendengar suara berdebam di belakangku. Edwin meninggalkanku sendiri di kamar, saat percakapan kami belum usai. Belum pernah dia melakukan ini. Semarah apa pun aku, dia tidak akan pernah membiarkanku bergelut dengan emosiku sendiri. Sesibuk apa pun dia saat itu.

Aku menyandarkan punggung ke meja, memejamkan mata, dan berusaha merasakan embusan AC membelai kulit. Empat tahun lalu. Aku ingat betul saat baru saja selesai memainkan Sally di depan pengunjung, seorang lelaki dengan kaos rajut putih lengan panjang menghampiriku di belakang panggung saat aku menyusun vent stand dan akan memasukkan Sally ke koper.

"Hai, Sally," ujarnya  saat itu kepada bonekaku.

Suara beratnya cukup mengejutkanku, apalagi seharusnya tidak ada orang yang boleh melihat proses keluar dan masuknya vent figure, karena itu akan mengganggu pakem seorang ventrilokuis. Penonton hanya boleh tahu bahwa vent figure ini hidup, bukan boneka yang dibuat seolah-olah hidup.

"Wah, maaf, Kak. Sally sudah mau tidur. Jadi, besok saja, ya, ngobrolnya," jawabku sambil tetap memosisikan Sally untuk masuk ke koper setelah melempar senyum sesaat ke arahnya.

Lelaki itu terdengar berdecak dan mendengkus sambil berujar, "Oh, no ... Apa saya tidak bisa berbicara sebentar saja dengan Sally?"

Aku melirik dan menghentikan gerakanku memasukkan Sally. Lelaki itu terlihat unik, dengan jambang tipis, alis yang tebal, memohon sambil mengatupkan kedua tangannya hanya demi bisa mengobrol dengan Sally. Hampir saja aku terkikik, sampai aku sadar bahwa permainanku berhasil membuatnya percaya bahwa Sally benar-benar hidup. Ya, setidaknya saat itu keyakinanku benar-benar membuncah, sehingga dengan cekatan aku menyempitkan rongga suaraku dan berujar pelan tanpa menggerakkan bibir.

Sun in the WinterWhere stories live. Discover now