She is your Sunny

19 2 0
                                    

Aku mematung ketika tiba-tiba Edwin merogoh kantong dan menjauhi aku untuk mengangkat ponsel. Aku bahkan tidak bisa mendengar apa pun yang dia katakan. Dia hanya melambaikan tangan lalu keluar dan menutup pintu.

Bukannya belum lima menit dia mengatakan, "Tidak ingin membuatku sedih." Pada detik berikutnya justru dia meninggalkan aku.

Menarik napas panjang, aku berjalan menuju Sally yang duduk di nakas sebelah lemari pakaian dan ingin bergegas mengajaknya bermain. Tirai yang tidak menutup sempurna membuatku bisa melihat langit di luar sana. Tidak tampak berkas cahaya matahari, tetapi juga tidak ada tanda-tanda langit mendung. Lonceng angin yang tergantung di jendela pun tidak bergerak, menandakan tidak ada embusan angin di sana. Meski di dalam kamar, aku seperti merasa cuaca panas yang menusuk, bahkan pendingin di kamar seakan tidak berfungsi. Yah, aku tidak suka suasana siang ini. Edwin, hatiku, cuaca, semuanya menyebalkan.

Tangan kiriku menyangga Sally dan kami menghadap cermin di pintu lemari pakaian. Menggerak-gerakkan badan serta anggota tubuhnya sejenak, kemudian aku berjalan ke arah jendela agar bisa meletakkan Sally di meja komputer tanpa harus mengangkat tubuhnya yang memiliki tinggi sekitar 110 cm.

"Miss Ester, kenapa sedih?" Aku menggerakkan panel-panel di balik leher Sally untuk memainkan ekspresinya. Mulai dengan menekan panel bagian kelopak mata hingga membuka, serta bagian alis agar keduanya terangkat, dan mulutnya bergerak sesuai suku kata pertanyaanku.

Setelah sedikit menggerakkan bagian leher Sally agar dia menoleh ke arahku, aku menyahut, "Aku nggak sedih, Sally." Saat mengucapkannya, aku tetap menggerakan kepala Sally untuk menciptakan ilusi dia benar-benar hidup. Dia hanya boneka yang kumainkan untuk menghibur diri.

Masih dengan bergonta-ganti suara dan menahan bibir agar tidak bergerak saat giliran Sally yang berbicara.

"Kalau Miss nggak sedih, Miss nggak akan menangis." Aku juga berusaha menahan isak ketika Sally mengatakan itu.

"I'm fine, Sally." Aku tersenyum dan mengarahkan Sally menoleh ke aku.

"No!! Miss lupa kita tidak perlu berbohong hanya untuk menunjukkan diri kita baik-baik saja." Isakku makin tidak tertahan saat menyelesaikan kalimat ucapan Sally yang ini. Segera aku mengangkat lagi tubuh Sally dan membopongnya seperti biasa agar perasaanku makin tenang karena ada seseorang, oh, mungkin sesuatu yang seperti mendekapku erat.

"Aku nggak bo ...."

"Iya, tapi pak Edwin berbohong kan, Miss? Dan Miss Ester jadi sedih karena itu." Suara Sally seperti bukan aku lagi yang menguasainya karena kini dia mengucapkan kalimat itu tepat sebelum aku menyelesaikan ucapanku sebelumnya.

Sejenak aku mengernyit, tetapi tetap melanjutkan, "Aku nggak tahu, tapi menurutku ...."

Lagi-lagi, belum selesai aku mengatakan, Sally seperti menyambar giliran bicara. "Sunny itu anak Pak Edwin."

Aku tergugu dengan ucapanku sendiri yang keluar melalui Sally. Tidak hanya itu, sebelum aku menanggapi, Sally masih melanjutkan. "Kak Eou mengatakan Sunny adalah keponakannya, bukan keponakan dia dan Pak Edwin. Iya kan, Miss?"

Setelah selesai menggerakkan Sally mengucapkan kalimat terakhir yang membutuhkan pengendalian diri ekstra, Edwin ternyata sudah berdiri di sampingku dan ia berujar ke arah Sally. "I'm really sorry, Sally. Aku hanya nggak ingin membuat Miss Ester sedih."

Aku memperhatikan Edwin mengucapkan itu dengan sorot mata penuh keseriusan meski hanya menatap boneka. Spontan aku membuat Sally mengedip, lalu menoleh ke arahku yang juga sedang melihat ke arahnya.

"Pak Edwin, kenapa berbohong dengan mengatakan Sunny bukan siapa-siapa?" Sally terdengar lebih tegas saat mengatakan itu meski hatiku berdebar ketika menyuarakannya.

Sun in the WinterWhere stories live. Discover now