Malam ini bulan bersinar sangat cerah, hampir bulat sempurna. Bintang-bintang pun tampak menari bahagia berada di atas sana. Beda dengan hatiku yang masih kelabu menyisakan banyak rasa ingin tahu yang belum terpuaskan meski sudah mendengar penjelasan dari adik Edwin, sebelum kami pulang.Seminggu sudah kami di Semarang, dan selama itu pula aku lebih banyak diam di kamar berdua dengan Sally kecuali saat aku harus mengajar. Bahkan malam ini pun sejujurnya aku hanya ingin berada di kamar dan bermain dengan Sally. Namun, tiba-tiba saja Edwin pulang kerja dan mengajakku ke Twin's Cafe di daerah Semarang atas.
Kafe ini terletak di puncak kota Semarang. Jadi, kami bisa menikmati embusan angin dan memuaskan mata dengan gemerlap lampu, karena sejauh mata memandang, lampu kota tersaji bak hamparan permadani. Sayangnya, aku tidak bisa membawa Sally ke sini.
"Sayang ingat nggak, kapan kita pertama kali ke sini?" Edwin yang duduk di depanku meraih tanganku dan memulai percakapan setelah pesanan kami sampai di meja dan Edwin mengucapkan terima kasih kepada waiter yang menyajikannya.
Aku menganggukkan kepala dan mencoba mencerna arah pembicaraan suamiku. Jelas saja aku ingat, sepulang kami berbulan madu, sebelum memutuskan akan tinggal berdua di kota ini, Edwin mengajakku ke sini untuk mencicip minuman cokelat terunik sebelum dia menciptakan yang lebih unik di kafenya.
Aku melihatnya tersenyum.
"Saat itu ...," Edwin menyela ucapannya dan meraih tanganku yang satunya, lalu melanjutkan. "Almarhum papa memintaku berjanji untuk tidak pernah sekali pun membahas dia."
Spontan aku menajamkan pandangan dan mengerutkan dahi ketika Edwin mengatakan "dia" sembari sorot matanya berubah menjadi gelap.
"Maksudmu Sunny?" tuduhku tanpa berpikir panjang dan ternyata anggukannya membuat dadaku terasa terbakar, tetapi sedetik kemudian rasa penasaran membuatku mencecarnya.
"Kenapa kamu harus menjauhkan Sunny? Eh, Sunny atau mamanya? Apa papah nggak merestui hubungan kalian? Atau ...." Kerutan di dahiku makin kentara, sepertinya. Karena dahiku terasa kebas sampai aku mendengkus dan Edwin mengusapnya sebelum aku melanjutkan, "Kalian menikah, kan? Dia bukan anak di luat pernikahan, kan?" Suaraku mengecil, tetapi kupastikan Edwin bisa mendengarnya.
Entahlah, pikiran itu tiba-tiba melintas begitu saja, menyangka Edwin mempunyai Sunny tanpa ikatan pernikahan, sangat menjijikkan, sebenarnya. Namun, mengingat gayanya yang sejak dulu senang tebar pesona dan mesra kelewat batas, bisa saja hal itu terjadi.
Oh, tetapi tidak denganku. Karena aku dulu tinggal di yayasan yang peraturannya memang sangat ketat. Bahkan setiap kali aku tampil di pentas ventrilokuis, selalu didampingi oleh dua atau lebih staff yayasan.
Edwin membalas cepat pertanyaan terakhirku dengan sanggahan. Artinya dia memang sudah menikah dan Sunny adalah anak kandungnya.
"Ya," jawabnya singkat saat aku menekan pernyataan itu.
Ah, sayangnya aku tidak bisa menyelami matanya yang aku yakin menyiratkan keanehan di sana.
"Kenapa?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku, padahal aku ingin melepas tangannya dan berteriak dengan kencang, bahkan kalau bisa aku akan mengacak-acak tempat ini. Mataku panas menahan semua rasa marahku.
"Karena aku sayang kamu." Jawabannya sekarang terdengar sangat memuakkan.
"Dengan cara berbohong?" Mataku menatap dalam bola matanya yang semakin kelam dan lagi-lagi dia hanya mengucap maaf.
"Aneh dong, Yank. Kalau kamu sayang aku, seharusnya kamu bisa menceritakan semuanya tanpa ada yang berusaha kamu tutupi, dan lebih anehnya ... tiga tahun, kamu berhasil. Aku terlalu payah!"
YOU ARE READING
Sun in the Winter
RomanceBagi Ester, kehadiran anak akan mampu mempererat hubungan keluarga. Jadi, ia berencana mengikuti program kehamilan. Namun, Ester justru menemukan bukti bahwa Edwin, suaminya, sudah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Lantas, kenapa Edwin berce...