1.0

688 101 5
                                    

Isabelle

Aku melihat Ashton yang sedang duduk di bangku starbucks, menungguku. Rasa gugup langsung menyelimuti-ku. Aku tidak ingin dia melihatku begini, dengan tabung oksigen dan selang yang ada di lubang hidungku. Astaga, aku benar-benar tidak bisa. Aku berjalan menjauhi starbucks, aku tidak jadi menemui Ashton dan akan memberitahunya kalau aku ada acara. Aku membuka ponselku, eh ponsel Ashton maksudnya.

"Tapi jika aku tidak menemuinya, Ashton akan kecewa kalau ponselnya belum kembali." Aku memukul-mukul kepalaku beberapa kali. Aku berjalan ke depan pintu starbucks lalu menelpon Ashton. Belum semenit aku disini, orang-orang langsung menatapku dan tabung oksigen yang kugeret.

"Ash."

"Kau dimana? Lama sekali."

"Uhmm... Aku sudah sampai,"

"Dimana?"

"Di depan starbucks."

"Oh, masuklah. Aku memakai raglan putih-hitam."

"Baiklah."

Aku menutup telponnya lalu berjalan masuk ke dalam starbucks. Semua orang di dalam sana melihatku dengan tatapan iba yang tidak kusuka sama sekali. Ashton juga melihatku, tapi dia tidak yakin kalau aku adalah Isabelle. Aku menghampirinya, keringat dingin menetes satu persatu di samping wajahku. Ashton menyipitkan matanya ke arahku, aku yakin dia akan kaget. Aku berhenti tepat di depannya.

"Aku Is--"

Pelukan Ashton memotong ucapanku. Kenapa dia malah memelukku? Harusnya dia yang shock melihatku, bukan aku yang shock dipeluk olehnya.

"Isabelle, akhirnya kita bertemu." Ashton mengguncang tubuhku sambil nyengir bahagia, ia mempersilahkanku untuk duduk. Kami duduk berhadapan.

"Kau tidak kaget?" Tanyaku heran.

"Kaget? Tidak sama sekali. Aku senang bisa melihatmu secara langsung." Ashton merogoh sesuatu dari kantong celananya. Ponsel pink dengan pink case ditaruh olehnya di atas meja. Aku ikut mengeluarkan ponselnya yang dibalut case transformer.

"Apa kita harus mengabadikan momen ini?" Tanya Ashton sambil membulatkan matanya.

"Momen apa?" Tanyaku heran.

"Penukaran ponsel, kejadian ini sangat jarang terjadi, menurutku." Ashton terkekeh. Aku meng-iyakan saja. Ia mengambil kamera polaroid dari dalam tasnya.

"Mendekatlah, kalau tidak nanti wajahmu tidak kelihatan." Pipi Ashton dan pipiku hampir menyentuh. Ashton dan aku saling pamer ponsel masing-masing, kinda weird pose. Hasil foto-nya mencuat keluar dari kamera. Aku melihat hasil foto itu.

Wow.

Aku cantik juga.

Apa?

"Akan aku simpan." Ashton memasukkan foto itu di dalam dompetnya. Hening. Aku sibuk memainkan jariku, Ashton bersiul tidak jelas.

"So, gimana Cassie? Kau sudah tidak peduli dengannya?" Tanyaku tanpa menatap Ashton dan masih menainkan jariku.

"We're over, ingat?" Ashton nyengir.

"Menyesal tidak?" Tanyaku lagi. Kenapa gampang sekali bagi Ashton untuk melupakan seorang gadis?

"Tidak. Aku berpacaran dengan Cassie karena disuruh temanku tahu!" Ashton menopang dagunya dengan tangannya.

"Oh." Tanggapku santai.

"Ohya, aku harus pergi." Ucapku, sebenarnya ke dokter. Aku ke New York bukan untuk menjenguk pamanku, melainkan untuk bertemu dokter yang handal dalam masalah penyakitku yang sepertinya memburuk.

"Kemana? Biar kuantar?" Ashton menawarkan tumpangan.

"Tidak usah." Aku menolak tapi Ashton tetap memaksa.

-

"Rumah sakit?" Tanya Ashton kaget saat melihat gedung dengan tanda '+' diatasnya. Aku mengangguk lalu masuk ke dalam rumah sakit itu.

"Biar kutemani." Ashton menyusulku.

Ih ada apa dengannya? Aku menolak tapi dia tetap memaksa.

-

"Nona Isabelle," Dokter memanggilku lirih, aku menatapnya dalam, begitu juga Ashton.

"There's a bad news." Lanjut dokter itu.

a/n
Hayoloh
Kabar buruk:''')
Vommentssss:))

switched ➸ afi [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang