Bab 2

6 0 0
                                    

Semenjak hari itu, aku selalu mengerjakan tugas dengan baik dan benar. Aku mencoba sangat amat teliti, mana mau aku melewatkan seupil kesalahan dan ditambah dengan risiko dimarahi oleh Eri. Dia tidak pantas dipanggil Pak, cukup nama saja ya kalau dalam hati. Bukan berarti lebih tua tapi anda malah belagu ya!!

Kami satu tim ini dibawa gila oleh Eri, kami ini sangat amat tidak tahan dengan sikap perfeksionis dia. Iya, aku tau dia itu lulusan universitas ternama di luar negri, tetapi ada satu hal yang dia kurang, dia tidak ada adab! Setidaknya itu pemikiranku karena aku geram dengan dia.

Walaupun jujur, semua pekerjaan dibawah dia menjadi sangat teratur dan analisis dia yang aku rasa cukup cerdas, boleh lah patut untuk dapat di contoh. Dia ini sebenarnya siapa sih? Aku kesal karena kami jarang berkomunikasi layaknya manusia pada umumnya, apakah kamu paham dengan kata 'pada umumnya'? Dia hanya berbicara seputar masalah kerja saja, lebih baik kalau aku pikir aku berbincang dengan Pak Ryan si tukang playboy itu.

Eri sedang menatap sesuatu dari komputernya, entahlah baca laporan atau berita. Serius deh dia itu tampan, tetapi karena sikapnya yang tidak adab itu menjadi "the biggest turn off ever". Aku kesal dengan sikapnya yang jutek abis, apakah tidak bisa senyum saja sedikit?

"Eh Ariani, tadi Pak Eri bilang suruh panggil kamu ke ruangan." Kata Rani.

Itu orang memang namanya sakral, tidak patut disebut, bisa-bisa dia muncul secepat kecepatan cahaya. Lalu, aku langkahkan kakiku ke dalam ruangannya dengan jantung yang berdegup kencang. Aku buka pintunya dan berdiri di hadapannya.

"Saya mau bicara sama kamu nanti setelah kerja ada permasalahan yang mau saya bahas. Apakah kamu bisa ketemu saya setelah pulang kantor ini?" kata Eri.

"Baik Pak kalau begitu." Kataku.

Kemudian aku keluar ruangan beriringan dengan suara dari sepatu hak dari milikku, lalu seribu pertanyaan muncul di kepalaku. Apakah aku akan di babat habis hari ini?

Matahari pun mulai turun dan langit semakin gelap, ini artinya waktuku bertemu dengan malaikat pencabut nyawa semakin dekat. Aku cepat-cepat ke mesin absen menggunakan fingerprint dan kemudian aku bergegas memencet tombol lift dan masuk ke dalam lift. Saat pintu lift akan tertutup, sebuah tangan mencegah tertutupnya pintu lift tersebut, tidak lain tidak bukan adalah Eri kesayangan kita semua. Dia masuk ke dalam lift dan dia tidak mengatakan apapun hanya menatapku saja, entah apa yang dipikirkan olehnya. Karena tujuan yang sama mungkin ya kami hanya diam saja. Sesampainya disana Eri bergerak untuk memesan kopi untuk kami berdua.

"Mau apa?" Kata Eri.

"Saya mau latte aja." Kataku.

Ia langsung memesan latte dan ice americano. Lalu, kami duduk di kursi yang dekat dengan jendela dan sedikit jauh dari keramaian. Saat dia menyeruput minumannya dia melihat ke arah luar jendela, entahlah memikirkan hal apa, tetapi ini sangat membuatku was-was.

"Saya mau kamu menikah sama saya."

Seketika saat aku sedang menyeruput kopi latteku aku memuncratkannya. HAH MENIKAH? SI GILA ERI INI MENGAJAK AKU MENIKAH? JANGAN HARAP!

"Hah?" Kataku dengan wajah tercengang.

"Saya sudah lihat rekam jejak sekolah kamu, tidak terlalu buruk. Lulusan terbaik di kampus dan track record kamu aman. Mari kita menikah." Kata Eri dengan santai.

"Apakah bapak sudah gila?" Kataku.

Demi Tuhan, aku belum pernah bertemu dengan manusia seaneh dia. Tuhan, apa salahku?

"Kita menikah saja 1 tahun. Kita buat kontrak atau perjanjian. Jadi, begini saya ada tuntutan dari keluarga untuk menikah, saya tidak kuat mendengar ocehan mereka setiap hari, lebih baik saya menikah saja, masalah selesai kan?"

"Tapi... pak say-"

"Begini, ini nominal yang akan saya berikan." Kata Eri. Kemudian dia menunjukkan handphone-nya ke arahku. Wajahku tercengang seketika, bajingan ini siapa? Kenapa dia sanggup menawarkan jumlah sebanyak ini.

"Saya sanggup menaikkan nominalnya kok, atau mau saya kasih uang muka dahulu. Tenang saja nanti saya akan buat ketentuannya dan tidak melanggar norma-norma umum dan hukum."

Hening

"Ok, saya setuju." Kataku

Tuhan, apa yang aku pikirkan pada saat itu? Menyerahkan diriku kepada sang Iblis?

The SupervisorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang