Benar saja. Dua hari setelah lombanya berlalu, puisi pemenang sudah diumumkan dan ditempel di masing-masing sekolah yang mengikuti lomba. Doyoung hampir-hampir tak percaya saat ia menatap mading dan dan melihat nama sekolah mereka menduduki peringkat 1.
Ingin sekali ia berteriak kegirangan karena berhasil menang. Tapi ia ingat jelas bahwa karya yang menang itu bukan buatan tangannya, tapi lahir dari otak seorang Jung Jaehyun.
Doyoung memandangi puisi yang ditulis Jaehyun. Ia mencoba mencerna setiap kata dalam puisi Doyoung tak mempedulikan lalu lalang murid lain di koridor sekolah. Matanya tetap sibuk membaca puisi buatan rivalnya itu.
"Dalam sebuah mimpi kau bertanya padaku,
Tentang sebuah impian yang ingin kudengarkan,
Sesuatu yang rapuh dan ingin kugenggam,
Aku mencoba untuk mendengar,
Aku berusaha untuk melihat,
Jika tangan ini tak sampai, aku akan mati untuk meraihnya,
Jika hati ini lelah, aku akan bersedih karenanya,
Karena sebuah harapan kecil yang bahkan tak mampu kulemparkan, menaikkanku,
Apa itu makna cinta,
Seseorang bertanya padaku,
Mengujiku dengan seribu tanya yang tak sanggup disampaikan kunang-kunang malam,
Yang membuatku berlari ke bukit,
Dan bertanya lagi apa arti detak jantung yang tak beraturan ini,
Bisakah kita bermimpi?
Untuk mengasihi orang yang kita cintai?
Yang perasaannya menjadi darah dalam aliran nadi kita,
Dan sekarang, apa kau percaya padaku?
Melangkahlah mengikuti cahaya matahari, Kekasihku,
Kau akan menemukan apa yang kumaksud di antaranya,
Dan karenanya, kita tak akan menyerah untuk sebuah impian,
Sekalipun kosong atau tidak,"
Doyoung tertegun membaca puisi itu. Air di sudut matanya meleleh. Hatinya tersentuh. Beberapa kalimat yang ada dalam puisi itu ia kenal dengan benar. Rasanya ia pernah menulis kalimat-kalimat lembut seperti itu.
"Terharu? Atau terkesan?" tanya seseorang yang muncul secara tiba-tiba di belakang Doyoung.
Jaehyun.
Ia hampir saja lupa bahwa cowok brengsek ini yang sudah membuat puisi itu. Doyoung memandangnya dengan tajam.
Jaehyun mengangkat tangannya dan mengusap air mata Doyoung dengan tangannya.
"Menang kan?" tanyanya dengan nada sarkasnya.
"Kata-kata dalam puisi itu..."
"Hei Doyoung, kau itu belum mengenal cinta, semua puisi buatanmu ini terlalu dibuat-buat," kata Jaehyun sambil menunjuk sebuah buku puisi karangan Doyoung. "cinta itu mengalir, Nona."
"Ba..bagaimana kau bisa... buku itu..?"
"Oh ini, aku meminjam dari Sehun ssaem," jawab Jaehyun,
"jadi benar kan? Perasaan bohongan yang kau tulis dalam buku ini nol besar Doyoung, kalau cuma segini kau takkan bisa menyaingiku."
Wajah Doyoung memerah. Ia nampak emosi karena diejek Jaehyun secara bertubi-tubi. Perasaannya untuk Sehun ssaem bukan perasaan yang dibuat-buat. Dan untuk alasan apapun, Jaehyun tak berhak untuk menghina karyanya. Toh Jaehyun juga mengambil beberapa kalimatnya dalam puisi tadi.