Denis keluar dari kamar mandi dengan perasaan segar. Tadi malam dia tidur dengan sangat nyenyak dan pulas seperti biasanya. Dengan badan sedikit menggigil dia buru-buru menghanduki badan lalu menyemprotkan wewangian di dada telanjangnya. Setelah itu ia jalan menuju lemari dan langsung memilih pakaian rapinya untuk dipakai kerja hari ini. Denis melihat jam dinding yang jarumnya masih menunjukan pukul lima pagi. Uh, pantas aja udaranya masih beku gini, pikir Denis. Segera dia memakaikan baju membaluti tubuh yang berupa kemeja putih, dasi biru, celana panjang, yang semuanya bermerk branded dan mahal. Wajah tampan berjanggut tipisnya terpantul di cermin ketika ia sibuk berbenah.
Denis adalah seorang manajer di suatu perusahaan yang sangat bonafid dan beretos kerja tinggi, maka sangat tidak aneh kalau sehari-hari dia datang paling pagi dan berusaha tidak pernah telat. Di kantor pun dia banyak disukai karena selain tampan sifatnya yang maskulin dan gentle pun amat menghangatkan dan menarik banyak perhatian karyawan wanita. Usianya masih sekitar 35 tahun. Tapi sayang Denis ternyata sudah menikah. Ia telah menjalin hubungan rumah tangga dengan istrinya yang bernama Agnes selama sembilan tahun meski belum juga dikaruniai anak.
"Sayang, buatkan aku kopi dong, sama roti bakar deh hari ini aku sarapan dikit." Teriak Denis dari kamarnya pada sang istri yang dia tahu ada dibawah di ruang tengah. Sebetulnya mereka ada pembantu di rumah ini tapi entah kenapa Denis sangat menyukai kopi buatan Agnes istrinya sendiri. Tak pernah denis seingatnya meminta pembantu untuk membuatkan kopi.
Sesudah beres-beres menyiapkan file kerja serta tampil amat rapi dan menawan denis lalu turun dan menghampiri meja makan. Dia tersenyum lebar karena istrinya yang amat cantik sudah terlihat rapi dan elegan dengan pakaian blazer kerja khas wanita kariernya menikmati secangkir kopi. Tapi lelaki itu sedikit merasa aneh karena tidak ada kopi untuknya, roti bakar yg dia minta pun tidak tersedia di meja seperti yang dia minta. Aneh? Padahal aku lama tadi di atas? apa Agnes gak mendengar? Pikir denis dalam hati.
"sayang kopi sama roti aku mana?" ujar Denis begitu ia duduk di depan Agnes dan menaruh tas kerjanya, Agnes menyeruput kopi lalu menatap denis.
"bikin sendiri, Denis. Mulai sekarang saya tak akan buatin kopi atau apapun untuk kamu." Jawab Agnes dingin.
Denis merasa keheranan sambil mengangkat alisnya, apakah istrinya ini serius atau sedang becanda?
"hmmm,,, maksud kamu Nes?"
"iya, aku tidak akan melakukan apa yang kamu suruh, sebaliknya aku ingin kamu lakukan apa pun kata-kata saya." Jawab agnes lagi sambil berlanjut minum kopi dan cuek melihat smarphonenya.
Denis tercengan dan menatap lurus agnes yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen di fakultas ekonomi sebuah universitas bergengsi itu. Aneh, dia sama sekali tak sanggup marah atau bahkan bertanya lebih lanjut sedikit pun pada istrinya.
"Denis, bisa bicara sebentar?" ucapan tegas Agnes sedikit mengagetkan denis. Tiba-tiba saja Agnes tersenyum begitu lebar dan menatap denis lekat, membuat Denis tak bisa bereaksi apa-apa selain balas tersenyum.
"iya, sayang,,, mau bicara apa?"
Tangan Agnes merogoh kantong di rok kerja ketatnya, lalu mengeluarkan secarik kertas lusuh.
"kamu masih ingat ini?"
"Apa ini, sayang?"
Agnes berdehem pelan lalu memberikan kertas itu ke Denis. "ini adalah puisi. Surat cinta yang pernah kamu berikan ke aku dulu waktu kamu melamarku sebelum kita menikah. Kamu gak tahu? aku selalu simpan kertas ini sampai sekarang, Denis."
"Ah, hahaha,,, surat norak gak jelas ini," balas denis sambil menyambut kertas tersebut, tapi Agnes kemudian berkata.
"Ngga kok, aku suka isinya. Aku minta kamu bacain lagi sekarang sambil berlutut di depan aku."