Chapter 1 - Simbolik Tanda Cinta

35.6K 3.4K 1.5K
                                    


Tulisan tangan Nathan kelas 2 SD waktu ada guru nanya, "apa yang kamu nggak suka di rumah?" dan ini jawabannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tulisan tangan Nathan kelas 2 SD waktu ada guru nanya, "apa yang kamu nggak suka di rumah?" dan ini jawabannya.

---

PROLOG

Hal terberat dari kehilangan bukanlah perasaan ditinggalkan, tetapi berusaha menjalani kehidupan dengan sisa kenangan yang masih tersisa di ingatan.

Seandainya Nathan tahu waktu memang sesingkat itu, dia akan membuat lebih banyak kenangan dengan Daniel. Nathan tidak akan marah jika hanya segelas susu cokelat yang terhidang di atas meja makan. Dia tidak akan kesal jika Daniel mengganti acara televisi dengan tayangan kuis interaktif karena menonton Power Rangers bisa nanti tapi menonton bersama Daniel hanya punya waktu terhitung jari. Dia akan memilih mengalah membiarkan Daniel berada di posisi paling utama untuk menyambut kepulangan Papa dari kantor sambil memegang tas kerja. Dia akan membiarkan Daniel meminjam seluruh kaus distro kesayangannya bahkan tanpa harus meminta izin.

Karena kini dia tidak bisa melakukan itu lagi. Daniel pergi meninggalkan kamarnya yang rapi tanpa sentuhan. Handuk yang masih dijemuran. Tuts piano yang tidak pernah lagi berbunyi. Kolor biru yang setia tergantung di belakang piano menunggu diambil oleh sang empunya.

"Ternyata, dihadirkanlah kehilangan agar seseorang bisa belajar menghargai arti dari sebuah kehadiran."

---

Januari, 1998.

"Nak, sabar ya Nak, jangan keluar dulu." Sepasang suami-istri itu terlihat kelimpungan dalam sebuah ambulans yang melaju kencang, suara sirine saling bersahut-sahutan dengan dering klakson kendaraan yang tak sabaran berbaris di belakang. "Mel, tahan ya ...," dia memegang tangan istrinya yang berkeringat deras.

"Mas Ardi, cepetttt! Sakit ini Mas! Ya Allaaaah, MASSS!!" Bukannya tenang, Meli kian menjadi-jadi. Kali ini makin parah, tangan yang semula digenggam beralih menjambak rambut Ardi. Suasana dalam ambulans kian riuh. Padahal sudah sejak jauh hari Meli mempersiapkan diri untuk tanggal kelahiran, dia tidak menyangka bahwa proses kelahiran bayinya akan jatuh dua hari sebelum tanggal yang diperkirakan oleh dokter dan tentu saja membuat mereka kelimpungan.

Kontraksi di perut Meli semakin menyakitkan. "Mel, ini aku jangan dijambak rambutnya, sakit Mel!"

"Biarin, biar kamu paham sakitnya gimana. Jangan mau bikinnya aja hiks, Mas, sakit banget!!!" Jambakan di kepala Ardi semakin keras seiring bertambahnya pembukaan. Ardi cuma bisa menahan dengan wajah memerah, berharap ambulans segera sampai di rumah sakit.

"Pak, buruan dong, Pak. Agak cepat dikit!"

"Cepat gimana, Pak, itu macet di depan."

"Mas cepat ambilin sarung di tas. Buruan, Mas." Ardi kelimpungan menuruti permintaan Meli, tangannya dengan gemetar mengeluarkan sarung Wadimor yang biasanya dia pakai sambil menonton televisi di ruang tengah dan kini sudah berganti fungsi menjadi hak milik istrinya. Meli berusaha bernafas dengan hati-hati lewat bibirnya sedikit demi sedikit. Dia tidak mau bayinya lahir di ambulans. Kasihan anak-anaknya, kalau ada orang bertanya, "lahirnya di mana?" bukannya menjawab, "di luar negeri" malah bilang, "lahir di ambulans."

GOODBYE DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang