Chapter 5. Arti Kebersamaan

8.7K 1.6K 1.3K
                                    


----

2006.

Mama melemparkan hasil nilai ujian ke ruang tengah. Ujian kenaikan kelas sudah berlalu dan nilai-nilai ulangan sudah dibagikan. Mama tersenyum puas melihat hasil nilai Daniel yang nyaris seluruhnya sempurna, nilai terkecilnya adalah 96 dan itu hanya pelajaran Seni Rupa. Sementara Nathan, ekspresi Mama berganti pias sewaktu melihatnya. Matematika mendapat 40, Bahasa Indonesia 30, dan yang paling parah Bahasa Inggris dapat nol besar. "Nathan, Mama kan udah ngajarin. Masa nggak bisa juga?"

"Nggak ngerti, Ma."

"Tiap kali selesai belajar, Mama tanya mana yang nggak ngerti, kamu bilangnya selalu ngerti."

"Kan soal yang Mama kasih sama soal yang dikasih guru itu beda, Ma."

Ardi mengambil lembaran nilai di atas meja dan menahan tawa. "Wah ada yang dapat telur ternyata, enak nih kalau digoreng terus dimakan pakai nasi, habis itu ditambahin kecap."

Nathan mendongak, menatap Papa yang mengerlingkan mata ke arahnya.

Papa juga! Anaknya dapat nol bukannya dimarahin malah dikomporin, mau jadi apa dia Pa?"

"Mau jadi anak Papa dong."

"Pa!" Mama berkacak pinggang. "Iya udah, nanti waktu Nathan bagi rapor. Papa yang ambil ya, Mama nggak mau. Mama ambil rapor Daniel."

"Iya udah nggak apa-apa. Nanti Papa yang ambil."

Waktu pembagian rapor tiba. Sesuai perkataan Mama, dia yang mengambil rapor milik Daniel. Hasilnya Daniel ranking satu paralel di kelas, nilainya tertinggi di antara kelas lain. Dia mendapat penghargaan berupa piala untuk disimpan di rumah. Wali kelas memujinya, begitu pun ibu-ibu dari anak lain yang bertanya apa tipsnya bisa memiliki anak sepintar Daniel dan Meli akan menjawab dengan senyum ramah dan bilang, "Anaknya memang semangat belajar, Bu, jadi saya cuma mengarahkan aja."

Sementara Nathan, berbanding terbalik dengan Daniel. Ardi mengambil rapornya. Bukan pujian, melainkan serentetan curhatan guru tentang kelakuan Nathan di sekolah. Nathan yang suka memukul anak-anak cowok. Nathan yang pernah bertengkar di lapangan sekolah dan Nilai Nathan yang kecil. Dia cuma bisa menunduk, takut kalau ayahnya ikut-ikut memarahi seperti ibunya.

Sambil menenteng rapor dan menggandeng tangan Nathan, Papa membawanya keluar dari sekolah. Nathan masih diam saja sepanjang perjalanan. "Kayaknya tadi tuh Papa bawa anak Papa yang namanya Nathan buat berangkat sekolah, tapi suaranya kok hilang, ya? Apa jangan-jangan dia jadi patung?" Ardi berusaha menarik perhatian jagoan kecilnya.

Nathan menoleh, matanya sudah berkaca-kaca. "Loh kok malah nangis?" bulir-bulir air menetes di kelopak matanya yang panjang.

"Papa mau marah juga ya sama Nathan? Nathan tuh mukul Beno karena dia ngegodain Silvi, Pa. Dia kerjaannya ngambilin pensil anak cewek di kelas. Aku marah lah."

"Siapa yang mau marah? Nggak kok, kan ini Papa mau ngajak kamu ke mal. Mau beliin mainan."

Mendengar ucapan ayahnya, Nathan mengusap bekas air mata di pipi. Pandangannya berbinar. "Beneran Pa?"

"Iya."

"YEAY!" Dia bersorak riang. Kendaraan melaju menuju ke salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta dan tujuan utamanya langsung ke deretan toko mainan. "Pilih berapa, Pa?"

"Satu buat kamu, satu untuk Daniel."

"OKE!" Nathan mengacungkan jempolnya. Dia berkeliling dengan penuh semangat seperti robot yang baru saja diisi penuh baterainya. Dari satu tingkat ke tingkat lain, dia ingin mencari topeng Power Rangers, satu untuknya, satu buat Daniel. Setelah hampir satu jam mencari-cari, akhirnya dia mendapat mainan yang sesuai dengan keinginannya. Ardi bergegas membayar. "Capek, ya?" tanya Papa melihat Nathan mulai lesu.

GOODBYE DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang