Chapter 14. Orang-Orang yang Terluka

11.6K 1.4K 503
                                    

Selamat membaca!

---

"Emangnya orang-orang yang udah meninggal pergi ke mana, Pa?" Hari itu Papa menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam orangtuanya ditemani oleh Daniel karena Nathan masih setia tertidur nyenyak di kamarnya, tangan mungil Daniel melemparkan bunga ke pusara sambil terus bertanya. "Pa, jawab dulu, orang-orang yang udah meninggal perginya ke mana?" bocah berusia empat tahun itu masih setia bertanya.

"Ke langit."

"Kok di langit?"

"Iya, jadi bintang."

"Berarti semua orang kalau meninggal pasti ke langit?"

"Iya."

"Makanya Papa kalau malem-malem suka liat langit ya di teras sambil makan pisang goreng bareng Mama?"

Papa berusaha menahan tawa melihat wajah polos Daniel, mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu dan bibir tipis yang tampak mengerucut. Semenjak hari itu, Daniel pasti akan menyempatkan diri untuk menemaninya melihat langit dan rutinitas yang sering mereka lakukan tiap malam tergerus dengan waktu yang kian sibuk.

Papa yang jarang pulang karena harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor dan Daniel sibuk latihan piano. Jika waktu dapat berjalan mundur, maka Papa rela menukar seluruh yang dia miliki hanya untuk memiliki waktu yang lebih lama bersama Daniel sekadar duduk di teras sambil makan pisang goreng buatan Mama atau duduk di ruang tengah bertaruh siapa kira-kira tim bola yang akan menang. Hari ini Papa pulang dengan langkah gontai dan hati pecah berkeping-keping.

Kakinya melangkah di teras. Tidak ada suara teriakan yang akan menyambutnya seperti dulu. Daniel dan Nathan sedang berlari-lari hanya untuk adu cepat siapa yang mendapat pelukan pertama Papa. Lalu Papa melangkah masuk, tidak ada mainan berserakan di bawah meja karena Nathan dan Daniel habis bermain dan terlalu malas untuk membereskannya kembali. Entah robot yang sudah buntung kepalanya atau bola yang sudah menjadi gepeng karena terlalu sering di-duduki Daniel.

Dan yang paling menusuk hati Papa, bukan Daniel dengan suara berisik yang dia temui melainkan seorang bocah laki-laki yang kini tertidur nyenyak di ruang tengah diselimuti kain batik. Mama sudah pingsan berkali-kali sejak jenazah Daniel diantarkan ke rumah. Semua anggota keluarganya sudah berkumpul di ruang tengah. Para tetangga, sanak dan kerabat berdatangan, bendera kuning di pagar, kursi-kursi plastik yang disusun di depan, karangan bunga yang sejak pagi tak hentinya berdatangan adalah penanda bahwa semua ini nyata.

Suara bacaan Yasin mengalun menjadi pengiring suara bersamaan suara tangis sesenggukan.

"Daniel, ayo bangun, Nak. Udah siang lho, kamu nggak sekolah? Mama udah bikinin sarapan nasi goreng. Ayo bangun, Sayang."

"Udah Mel, Daniel udah tenang, udah anakku." Nenek berusaha menenangkan Mama.

"Nggak, Ma. Aku nggak kuat. Gara-gara dia, Ma, anak aku meninggal!" Mama menunjuk Nathan yang duduk di pojok meja ditemani Bi Ijah.

"Dia juga anak kamu, Mel." Kakek mengingatkan agar anaknya tenang.

"Kalau dia nggak berantem semuanya pasti bakal baik-baik aja."

"Maaf Bu, jenazahnya akan dimandikan. Semuanya sudah siap?"

"Disegerakan pemakamannya, Nak, kasihan Daniel kalau terlalu lama ditahan-tahan," bisikan Kakek di telinga membuat hati Papa kian berdenyut perih, menyadari jika waktunya bersama dengan Daniel tersisa sedikit lagi.

Papa langsung mendekat untuk mengambil alih suasana, dia memeluk Mama.

"Nggak, Mas, Daniel bisa mandi sendiri. Dia udah besar, kok. Dia malu kalau dimandiin karena katanya dia udah sunat." Mama berbicara sambil menangis, masih di ambang antara sadar dan tidak sadar, apakah ini nyata atau fana. Tidak peduli seberapa kerasnya Mama menangis tetap tidak akan mengembalikan Daniel untuk kembali ke dunia, jadi Papa harus mengambil sikap tegas agar semua berjalan dengan lancar.

GOODBYE DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang