Chapter 7. Menarik Perhatian Mama

7.9K 1.6K 1.3K
                                    

1 k komen buat next part, k?

Selamat membaca!

"Hidupnya dengan Daniel memang seperti langit dan bumi. Hingga Nathan selalu berpikir, kenapa sih dunia selalu bersikap tidak adil untuknya?"

---

Semenjak insiden Nathan yang tidak sengaja menjepit tangan Daniel. Mama merengek ke Papa agar kamar Daniel dan Nathan dipisahkan karena Mama tidak ingin mereka berdua bertengkar lagi kemudian saling membahayakan satu sama lain. Alhasil kalau sudah Mama yang meminta, Papa tidak punya alasan menolak. Gudang belakang yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang bekas berubah fungsi menjadi kamar Daniel.

Sudah satu bulan lamanya Daniel tidak latihan karena masih dalam proses penyembuhan, itu artinya Daniel harus mengejar ketertinggalannya dalam latihan piano. Waktunya semakin padat, yang biasanya seminggu hanya dua kali, kini bertambah menjadi seminggu empat kali. Belum lagi setiap harinya ada tugas-tugas dari sekolah yang menuntut untuk dikerjakan. Alhasil waktu Mama lebih tersita mengurusi Daniel daripada Nathan, karena sekolah Nathan lebih santai. Tidak banyak tugas dan tidak ada latihan yang harus anak itu lakukan. Karena waktu yang semakin padat, Nathan dan Daniel sampai tidak bisa bermain seperti hari-hari sebelumnya.

Satu-satunya yang mempertemukan mereka hanyalah ketika makan malam. Bi Ijah sudah kembali bekerja dan sedang mempersiapkan lauk untuk terhidang di meja makan. Khususnya pindang, sebuah menu yang wajib hukumnya karena merupakan kesukaan Nathan dan Daniel. "Hari Rabu aku ada pertandingan bola di sekolah."

"Oh ya? Rabu besok?"

Nathan mengangguk.

"Rabu ini? Waduh, Mama harus nemenin Daniel lomba. Jam berapa acaranya?"

Perhatian Nathan beralih ke Daniel yang juga sedang menatapnya. "Jam sepuluh."

"Tuh kan barengan, Papa nggak bisa datang nonton Nathan?"

"Papa hari Selasa harus ke luar kota. Rabu malam baru pulang."

"Iya udah nanti Bi Ijah aja yang datang ya? Nggak apa-apa, kan?"

Nathan diam saja. Tidak mengiakan, tapi tidak juga menolak. Ketika hari pertandingannya tiba, ternyata perkataan Mama benar-benar serius. Bi Ijah yang datang menyemangatinya. Nathan berdiri di lapangan, melihat dari tribun, para orangtua datang untuk memberi semangat kepada putera-putera mereka. "Bang, Abang! Ini Papa nelepon!" Bi Ijah berlari mendekatinya sembari menyerahkan ponsel.

Nathan menempelkan benda itu ke telinga. "Nathan hari ini udah mulai tanding, ya? Semangat ya, Nak. Anak Papa kan jagoan dan hebat, Papa yakin pasti menang."

"Iya, makasih Pa. Iya udah aku bentar lagi bakal tanding. Dah Pa." Sambungan dimatikan. Nathan kembali ke lapangan, menemui teman-temannya yang sudah berkumpul untuk melakukan pemanasan. Sementara itu di waktu bersamaan, di tempat yang berbeda. Daniel pun bersiap-siap untuk mengikuti lomba kompetisi piano. Sejak pagi Daniel sudah datang di gedung Choir Chalala ditemani Miss Mita, pelatih pianonya, dan juga bersama Mama.

"Daniel, jangan gugup ya. Ingat kata-kata Mama, yang penting itu bukan juara atau nggak tapi proses belajar dan pengalamannya. Daniel harus happy jalaninnya dan tenang. Oke, Sayang?" Mama menyemangati Daniel yang terlihat sekali dari mimik wajahnya kalau anaknya itu sedang gugup.

Kata-kata Mama seperti sulut yang membakar jiwa Daniel, mengenakan pakaian batik dan celana hitam dasar, dia tampak percaya diri. Pesertanya membludak dan ramai karena banyak kategori yang dilombakan. Daniel masuk ke ruangan yang terasa dingin. Di setiap ruangan ada dua juri yang menilai. Mama dan Miss Nita duduk di kursi penonton, sementara Daniel bergabung ke deretan kursi peserta yang berada di samping panggung. Tangan Daniel sudah berkeringat duluan.

GOODBYE DANIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang