O1. Pelukan Pelipur Lara

3K 307 77
                                    

Disclaimer⚠Ini cerita angst dengan alur maju mundur (campuran)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Disclaimer⚠
Ini cerita angst dengan alur maju mundur (campuran). Setiap membaca part yang berbeda, lihat terlebih dahulu bulan dan tahun yang tertera biar gak bingung. Oke, happy reading!

***

Oktober, 2017

Gemerisik dedaunan angsana yang berkolaborasi dengan suara gemuruh petir dari luar ruangan selalu berhasil membangunkanku dari tidur. Minggu ketiga di bulan Oktober kali ini, hujan masih belum bosan menyambangi tanah Jogja dengan intensitas yang konsisten. Bahkan di hari ini, hujan belum kunjung reda semenjak turun kemarin sore. Sudah dipastikan jika jalanan kota akan digenangi air keruh serta dipenuhi ratusan dedaunan yang gugur karena ulah angin dan hujan.

Dengan kedua mata yang sembab, pandanganku mengedar. Menyusuri ruangan yang tidak bisa dibilang kecil ini untuk menemukan seseorang. Alih-alih mengecek ponsel seperti kebiasaan manusia lain ketika habis bangun tidur, aku lebih memilih berjalan meninggalkan kamar untuk beralih ke dapur. Aroma roti panggang terasa menggelitik rongga hidungku, dengan begitu saja senyumanku tercetak lebar. Seseorang yang tengah kucari pasti sedang berada di dapur.

"Eh, udah bangun?"

Langkahku tiba-tiba saja terpaku pada tangga terakhir yang menghubungkan kamar dengan dapur. Sapaan dari suara manis itulah yang belakangan ini menjadi sambutan pagi hariku, sederhana memang. Namun efek yang dapat ditimbulkannya tentu saja jauh dari kata sederhana.

Masih setia dengan senyuman yang terpatri, aku berjalan mendekati sosok itu. Mencoba mengikis jarak dengan meninggalkan sekat untuk memberinya sebuah pelukan hangat. Aku berharap pelukan ini dapat membantunya menghalau rasa dingin yang berasal dari AC di sudut ruangan.

"Gis, kamu udah lama datang ke sini?" Pertanyaan singkat dariku membuat gerakan tangannya yang akan melepas apron berwarna hitam terhenti, dengan senyuman manis ia membalikkan badan. Memamerkan sorot mata yang akhir-akhir ini menjadi tempat diriku bernaung. Karena setiap menatap mata kelamnya, dapat terlihat bayanganku ada di sana dengan jelas.

"Bahkan aku udah ada di sini dari lama. Dulu aku pernah bilang kan, aku mau jaga kamu selagi aku mampu." Begitu jawabnya.

Entah terbuat dari apa suaranya hingga mampu membuat netraku bergetar, bahkan di detik setelahnya; aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghamburkan tubuh kearahnya. Seolah dengan melakukan dekapan itu, aku berkata kepadanya jika selama ini ... kehadirannya memang sangat berarti bagiku.

Gistara Damaris.

Perempuan dengan nama secantik wajahnya itu membalas pelukanku tak kalah erat. Membiarkan dengan pasrah tubuh bagian depannya menjadi tempatku menumpahkan sesak, biarpun nantinya akan meninggalkan bekas ingus di mana-mana; Gistara tidak akan pernah marah.

Karena dulu ia pernah bilang, "Nisaka, kalau memang kamu pingin nangis. Nangis aja gak apa-apa, gak ada yang ngelarang. Orang dewasa juga butuh menangis untuk mengurangi beban. Ayo sini, tumpahin semuanya sama aku. Hari yang kamu lalui berat banget, ya?"

Retisalya; NingSelle [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang