O6. Mengais Jejakmu di Jalan Malioboro

707 163 44
                                    

November, 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

November, 2020

Aku selalu setuju saat orang-orang mengatakan jika kota Jogja adalah penggoda ulung yang mampu memikat beratus-ratus ribu hati manusia yang berkunjung. Karena dalam kurun waktu singkat, kota ini mampu membuatku jatuh cinta dengan keanekaragamannya yang ada. Dan karena Jogja pula, aku dapat bertemu manusia seperti Gistara.

Ini sudah 4 tahun berlalu, dan perasaanku telah berangsur-angsur membaik. Buktinya, di sore ini aku memberanikan diri untuk mendatangi sebuah tempat yang telah menjadi titik paling banyak tersimpannya berbagai kenanganku bersama Gistara.

Jalan Malioboro.

Sambil sesekali memindai seluruh sudut di jalan ini, aku berjalan dengan sebuah ponsel yang tengah tersambung dengan Winter. Sejak setengah jam yang lalu, Winter berkata jika ia sangat gugup, maka dengan kadar kepekaan yang tinggi; aku secara suka rela menjadi pendengar setia keluh kesahnya.

"Sumpah, kaki gue gemeter sekarang, Nis. Tadi malem Arina bilang mau ngomong sesuatu hal penting sama gue setelah acara wisudanya selesai. Gue sampe insom, anjir, gara-gara perkataannya. Kira-kira dia mau ngomong apaan, ya?" 

Mendengar nada sarat akan kebimbangan dari seberang, sontak membuatku tergelak. Tanpa melihat wajahpun, aku sudah tahu jika Winter tengah menahan rasa melilit di perutnya karena terlalu gugup. Sembari memasuki sebuah kedai yang menjual wedang bajigur, aku menjawab, "Dia mau ngelamar elo kali. Siapin hati aja, biar gak ambyar."

"Weh, ngadi-ngadi lo! Di sini ada mak bapaknya. Malu, lah, gue kalo dilamar."

"Terus kalo Kak Arina beneran mau ngelamar lo setelah acara selesai, lo bakal nolak, gitu?"

"Ya enggak, lah! Ah, tau dah, perut gue mules. Gue matiin, ya!"

Aku memang sempat sesekali tertawa saat  telepon masih tersambung, tetapi saat Winter mematikan sambungannya secara sepihak; ada secuil rasa iri yang hadir melingkupi diriku. Sesuai apa yang barusan ia bilang, hari ini adalah waktu bagi Kak Arina menjalani prosesi wisuda. Tadinya aku sempat berniat untuk ikut bersama Winter guna menjadi saksi berpuluh-puluh mahasiswa yang telah berhasil lulus setelah bertahun-tahun berjuang tanpa mengenal kata menyerah. Tetapi niat itu seketika rumpas saat aku mengingat tidak ada manusia yang akan aku peluk dengan sayang setelah selesainya acara.

Mungkin jika Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup, pasti saat ini aku akan melihat wajah cantiknya dalam balutan kebaya tradisional dengan bawahan kain jarik bermotif  batik. Di saat itu pula, aku akan menjadi manusia pertama yang akan memberinya sebuah pelukan selamat karena dia telah berhasil mendapatkan gelar sarjananya.

Retisalya; NingSelle [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang