O7. Bagian Akhir untuk Mengakhiri Retisalya

1.2K 180 65
                                    

November, 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

November, 2020

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana : dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Selaras dengan derasnya air hujan yang menghantam permukaan atas payung yang saat ini aku bawa, kata-kata dari eyang Sapardi Djoko Damono di atas aku gumamkan sesekali dengan lirih. Sama seperti eyang, Gistara juga telah berhasil mencintaiku dengan cara yang sederhana. Sangat sederhana, tetapi mampu menggoreskan kenangan permanen untukku menggunakan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Hari ini lagi-lagi hujan mengguyur di setiap titik kota Jogja, tetapi bukannya bergelung di atas kasur sembari mendengarkan lagu-lagu klasik seperti biasanya; aku malah memilih keluar rumah untuk menguras habis rasa rinduku kepada Gistara. Bukan ke makamnya, karena jujur saja ... aku belum berani datang ke sana untuk menemui dia. Aku memang sudah rela, tetapi untuk datang ke tempat Gistara merebahkan rasa lelahnya itu ... aku belum bisa.

"Ih, kamu mah orangnya gengsian, Nis. Kalo lagi rindu itu ya bilang, jangan diem; nanti nyesel. Soalnya, penyesalan biasanya datang pas di akhir, kalo datangnya pas awal itu bukan penyesalan namanya, tapi pendaftaran."

Secara ajaib, tiba-tiba bibirku menciptakan seulas senyum. Hanya dengan mengingat beberapa ocehan dari gadis itu benar-benar mampu menjadi obat rasa rindu, bahkan di hari ini; suara tawanya terasa menginvasi udara yang berhembus agak kencang.

"Nisaka, kalo kamu rindu sama aku; telpon aja, ya? Aku bakal berusaha buat nemuin kamu, atau enggak ... kamu dateng ke rumah aja. Kalo aku belum pulang, masih ada Mama Kristal yang bakal nemenin. Tunggu 5 menit aja, aku bakal pulang bawa bajigur buat kamu."

Masih dengan langkah yang begitu ringan, aku mengangguk tanpa sadar. Seolah benar-benar ada Gistara di sini yang tengah menasehatiku tentang tidak bergunanya memendam rindu.

Di sepanjang gang sempit yang menjadi penghubung beberapa rumah di kawasan Sleman, aku merapatkan jaket untuk mengusir hawa dingin. Suara gemuruh guntur dan gemerisik dedaunan mangga menjadi dua hal yang menjadi teman perjalananku menuju rumah Gistara.

4 tahun yang lalu, aku datang ke rumah Gistara dengan luka basah yang menganga cukup besar. Dengan membawa 4 tangkai bunga sedap malam segar, aku terisak lirih di depan pintu rumah Gistara. Sesekali pula sebuah permohonan aku ucapkan untuk mendapatkan secuil rasa kasihan dari Tuhan, berharap dengan melakukan itu; Gistara tetap di sini bersamaku dan tidak pergi ke mana-mana.

"Tuhan ... hanya dia yang aku punya, tolong berikan kesempatan lebih panjang untuk dia hidup."

Namun takdir memang tidak pernah bisa diubah, segala sesuatu yang telah terjadi atas kehendak-Nya akan menjadi hal yang paten untuk selamanya. Tidak bisa ditawar, tidak bisa dihindari, dan hanya bisa diterima dengan lapang dada. Karena itulah, di tahun ini; aku berniat untuk berdamai dengan segalanya.

Retisalya; NingSelle [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang