Wajah khawatir Winter menjadi pemandangan pertama ketika mataku terbuka sempurna. Walaupun agak samar-samar, aku bisa melihat bibir berwarna merah mudanya bergerak kesana kemari. Mungkin tengah memarahiku, tetapi satu patah katapun tidak dapat kudengar dari mulutnya. Telingaku hanya terisi dengingan yang membuat pusing kepala.
"Nisaka! Are you okay? Lo denger apa yang gue bilang, gak?!"
Ah, baru terdengar. Aku hanya mengangkat kedua jari membentuk tanda 'oke' untuk menjawab pertanyaan dari sepupuku. Setelah itu sebuah hembusan napas berat ia keluarkan, nampak betul gurat kelegaan di air mukanya yang beberapa detik lalu menampilkan sorot khawatir.
Di detik selanjutnya, aku dibuat kebingungan. Bukannya tadi aku berada di dapur bersama Gistara? Bahkan sepiring roti panggang berselimut selai kacang buatan gadis itu belum kusentuh sama sekali. Namun mengapa tiba-tiba saja aku berada di dalam kamar? Bersama Winter pula.
"Udah berapa kali gue bilang sama lo, jangan pernah tidur di dapur! Lo emang kalo dibilangin itu masuk telinga kanan keluar telinga kiri, ya?! Jangan mentang-mentang mak bapak lo gak ada di sini bikin lo ngerasa merdeka gak ada yang ngatur-ngatur, inget! Masih ada gue!"
Detik itu juga telingaku kembali berdenging, tetapi kali ini aku tahu penyebabnya. Suara teriakan Winter menggema di ruangan bercat putih gading ini, lalu diikuti dentingan gelas kaca yang beradu dengan meja kayu. Segelas air putih Winter sodorkan tepat di depan wajahku dengan tampang yang kesal bukan main.
Satu alisku tertaut, "Apa?"
"Minum! Habis itu makan, lo gak liat ini udah jam 1 siang?! Dan tanpa lo bilang, gue udah tau kalo lo belum ngisi perut dari pagi! Mau mati lo?!" Sontak saja aku segera menatap jam dinding di sudut kamar bagian kiri, dan Winter tidak berbohong. Jam dinding yang kudapat dari Gistara sebagai hadiah ulang tahun ke 19 itu memang tengah menunjukkan pukul 1 siang lewat 10 menit.
"Gistara udah pulang?"
"Huh?"
Dengan sedikit erangan pelan, aku bangkit dari tempat tidur. Sedikit meringis ketika perutku terasa sangat perih, ini bukan hal baru sebenarnya. Karena setiap aku terlambat makan, perutku akan terasa perih seperti ini. Untungnya di kamar ini hanya ada Winter, aku tidak akan pernah bisa membayangkan jika di sini ada Gistara. Sudah dipastikan telingaku akan berada di zona bahaya karena akan menjadi korban keganasan omelan seorang Gistara Damaris.
"Gue tadi gak sengaja ketiduran di kursi dapur. Pasti Gistara udah pulang, ya? Di luar masih hujan, naik apa dia? Lo liat, gak?"
Namun bukannya menjawab, Winter hanya terdiam lama. Membuat keheningan mengambil alih suasana, ketika pandanganku turun kearah tangannya; terlihat Winter menggenggam gelas dengan begitu erat. Hingga putih pucat kulitnya terganti merah muda.
"Win?"
"Nis, mau sampe kapan lo kayak gini?" Dia tidak lagi mengeluarkan suara dengan nada belungsang.
"Maksud lo?" Dahiku mengernyit, benar-benar tidak memahami perkataan Winter tadi. Gelas yang berada di genggaman tangannya kini ia taruh kembali di meja nakas, ketika tangannya telah bebas; Winter berdiri di samping kasurku. Tatapannya tampak keruh, terlihat seperti genangan air yang terkumpul di jalanan berlubang setelah diserbu serdadu hujan.
Napas beratnya kembali kudengar, "Ini udah 1 tahun berlalu, Nis. Udahin, ya? Ikhlasin semuanya. Terima keadaan dengan hati lo yang lapang, ya? Di dunia pasti ada pertemuan dan perpisahan, Nis. Kesedihan hadir sebagai bagian dari hidup, tapi bukan berarti dengan adanya kesedihan itu; lo malah berlarut-larut tanpa mau bangkit lagi. Kak Gistara gak akan suka lihat lo kayak gini terus, jangan terlalu jahat buat dia tertahan di sini lebih lama."
Ketika Winter mengakhiri perkataannya, napasku secara tiba-tiba tersendat. Tanganku yang tadinya terkulai lemas di atas kasur, kini sudah mendarat tepat di dada bagian kiri. Meremasnya begitu keras untuk sekedar mengenyahkan sesuatu yang menyesaki di dalam sana hingga tak tersisa. Namun bukannya mereda, rasa sesaknya semakin menjadi-jadi. Sampai rasa sakit yang tadinya singgah diperutku sirna begitu saja, terganti dengan rasa sakit yang baru.
"Kalo lo sayang sama dia, relain. Gak baik kalo lo kayak gini terus-menerus, Nis. Gue tahu gak ada kehilangan yang awalnya baik, semuanya menggoreskan luka. Tapi lo harus tahu satu hal, goresan luka itu bakal tetap jadi luka kalo lo gak berupaya buat nyembuhinnya. Bahkan kalo dibiarin kayak gini terus-menerus, luka lo itu bakal bernanah." Winter menambahi, kali ini dia telah berhasil menyembunyikan tubuhku yang bergetar di dalam pelukannya. Pelukan yang sama sekali tak mampu mengurangi sensasi sesak di dalam hatiku karena terlalu hambar.
Karena di situasi apapun itu, yang mampu menjadi obat penenangku hanyalah Gistara Damaris.
Lalu setelahnya, ruangan ini hanya terisi rintihan samar yang keluar dari bibirku dan Winter. Di luar, hujan turun semakin deras tanpa berniat mereda untuk sesaat saja. Tentu saja hal tersebut semakin membuat tubuhku bergetar hebat, bahkan 1 tahun telah berlalu; hujan masih menjadi satu dari banyaknya hal yang aku benci di dunia ini.
"Aku gak suka hujan, soalnya nanti rencanaku buat ngajak keluar kamu ke Jalan Malioboro gagal gara-gara dia. Tapi yang paling ngebuat kesel, kalo hujannya turun pas malem. Aku jadi gak bisa liat bulan lewat balkon kamar, tapi untungnya aku masih punya Nisaka. Nama kamu artinya cantik seperti bulan, seenggaknya kalo hujan gak bisa bikin aku lihat bulan yang asli ... aku masih bisa liat kamu sebagai gantinya."
Gistara ... sama seperti kamu, kali ini aku juga benci dengan hujan. Karena dia, aku jadi kehilangan kamu untuk selama-lamanya. Kata Winter aku harus rela, tetapi melakukannya tak akan pernah semudah yang ia bicarakan.
Rela berarti siap untuk melepas. Tetapi karena aku belum mampu melepasmu, rela menjadi sebuah kata paling asing di telingaku. Jikapun disuruh memilih, aku lebih ingin hidup bersama bayang-bayangmu untuk selamanya. Walaupun tidak nyata, setidaknya aku masih merasa kehadiranmu di sini bersamaku. Gistara, mampukah aku bertahan lebih lama tanpa kamu di sini?
Mampukah aku menjadi kuat saat tempat sandaran luka dan sedihku telah pergi begitu jauh tanpa bisa lagi aku rengkuh? Namun mau sampai kapanpun juga, pertanyaan sepihakku ini tidak akan pernah terjawab secara gamblang. Di tahun pertama semenjak kepergian kamu di bulan Oktober lalu, masih menyisakan luka basah yang entah kapan bisa kering. Gistara ... kalau boleh jujur, selama ini aku benar-benar tidak mampu tanpa kamu.
Jika saja aku bisa menawar takdir, aku ingin diberi satu kesempatan untuk memelukmu lebih lama. Akan aku ucapkan tanpa ragu betapa cintanya aku kepadamu, dan akan kusalin caramu tertawa untuk menjadi sebuah lagu penghibur di saat aku sedang dirundung rindu. Karena baru kali ini aku tersadar ... setiap detak di jantung kamu adalah detik berharga dalam hidupku.
A/N : Iya, gak ada kehilangan yang awalnya baik. Tetapi lewat kesedihan itu, kamu diajarkan untuk lebih kuat menghadapi kehidupan yang keras ini. Tetap semangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Retisalya; NingSelle [Completed]
FanfictionKisahnya bahkan baru saja dimulai, tetapi hujan yang jatuh di bulan Oktober kali ini telah mengakhiri segalanya. Salah satunya tentang Gistara dan beribu-ribu harapan yang tidak akan pernah diwujudkan oleh semesta. Lalu di ujung kesendirian, akulah...