Oktober, 2019
Gistara tidak datang lagi padaku.
Semenjak kedatangan Winter di kontrakanku saat itu, eksistensi Gistara seakan hilang lenyap. Aku tidak lagi melihatnya memanggang roti di dapur atau sekedar menyirami bunga-bunga krisan milikku yang terletak di pekarangan depan.
Kini, Gistara benar-benar pergi.
Pergi dalam artian tidak akan kembali, tetapi dengan cadangan asa yang masih tersisa; aku terduduk di sini. Menunggu kedatangannya tepat di bawah langit kota Jogja yang kian melegam secara perlahan-lahan. Walaupun aku tahu, Gistara tidak akan pernah datang untuk menemuiku. Karena ia telah pergi jauh, terlalu jauh hingga lupa arah jalan pulang.
Lagi-lagi hujan tidak memberiku rasa iba untuk sekedar mengeringkan luka. Dan pada akhirnya, luka itu akan tetap berdarah hebat hingga menyisakan perih tak berkesudahan.
Rinai tipis-tipis akhirnya jatuh, sebagai awal pembuka batas antara lara dan gelebah. Tetapi seperti halnya mengerti aku tengah meminta dikasihani; guguran kelopak bunga angsana yang mekar subur di atas kepalaku saling berjatuhan pada batako tempat kakiku berpijak. Membuat permukaan batako yang semula berwarna abu-abu menjadi berwarna kuning cerah. Mungkin dengan cara seperti ini, semesta tengah mencoba menghiburku.
"Sampai saat ini, aku belum tahu apa alasan yang ngebuat kamu ngehukum aku sejahat ini, Gis. Kalo emang aku ada salah, bilang ... jangan pergi kayak gini." Sesak itu kembali hadir, tepat di dada bagian kiri aku dapat merasa nyeri hebat seperti habis dikoyak pisau hingga terjadi pendarahan.
Namun ketika tatapanku jatuh pada dadaku sendiri, aku tidak menjumpai apa-apa. Yang dapat kurasakan hanya detakan jantung yang berdentum tak lagi berirama normal. Kali ini satu tetes air mata berhasil jatuh membasahi celanaku, aku kira ... 3 tahun sudah cukup bagiku untuk melepaskan Gistara.
Tetapi ternyata tidak, 3 tahun masih terlalu singkat bagiku. Bahkan panggilan telepon 3 tahun yang lalu dari Kak Arina masih teringat jelas di benakku sampai saat ini, memintaku untuk terus dikenang walaupun akan menjadi kenangan terburuk sekalipun.
"Nis ... lo sibuk? Gue ke kontrakan lo, ya, sekarang? Gistara nyuruh gue buat bawa lo ke Rumah Sakit Jagakarsa, Nis. Dia pingin ketemu sama lo katanya."
Jika saja aku tahu kalau saat itu datangnya Kak Arina hanya untuk menyampaikan kabar duka, aku tidak pernah berniat untuk menjawab panggilannya sampai kapanpun. Karena setelah kedua kakiku mendarat di luar sebuah ruangan berdominan warna putih, yang menyambutku bukanlah pelukan hangat dari Gistara seperti biasanya. Hanya hawa dingin mencekam serta aroma obat-obatan yang terasa memelukku begitu erat, melekat kuat di indra penciumanku seperti mempunyai perekat.
Gadis itu memang ada di sana, tetapi ia tidak lagi berdiri untuk menyambutku sesuai apa yang Kak Arina katakan di sambungan telepon. Tubuhnya hanya tergolek tidak berdaya di atas brankar dengan sebuah kain berserat khas rumah sakit yang memeluk setiap jengkal tubuhnya. Harusnya kain itu berwarna putih dan hitam, tetapi rajutan benang yang saat itu melindungi Gistara dari hawa dingin rumah sakit malah berawarna merah legam di beberapa sisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retisalya; NingSelle [Completed]
FanfictionKisahnya bahkan baru saja dimulai, tetapi hujan yang jatuh di bulan Oktober kali ini telah mengakhiri segalanya. Salah satunya tentang Gistara dan beribu-ribu harapan yang tidak akan pernah diwujudkan oleh semesta. Lalu di ujung kesendirian, akulah...